Hitler Naik ke Puncak Kekuasaan Berkat Demokrasi, Tapi Setelah Berkuasa Menghancurkan Demokrasi
Adolf Hitler yang tak punya jejak reputasi politik naik ke puncak kekuasaan berkat demokrasi, tetapi setelah berkuasa merusak demokrasi. Saat itu, tulis Arendt dalam The Origins of Totalitarianism, kaum intelektual berupaya menghalau politik kebohongan Hitler dengan fakta. Namun, politik kebohongan Hitler dirancang untuk membunuh akal sehat masyarakat.
Kehancuran Jerman
Pada dekade 1920an Jerman yang sedang terseret krisis ekonomi dan sosial pasca Perang Dunia I, membutuhkan stabilitas politik untuk menggenjot perekonomian. Pada pemilu 1926 partai bentukan Adolf Hitler, NSDAP, cuma dipilih oleh 800.000 penduduk (2,6%). Namun pada September 1930, pendukung kaum fasis berlipatganda menjadi 6,4 juta pemilih (18,3%). Apa sebab?
Strategi Hitam
Strategi Hitler buat merebut hati pemilih tertera dalam karyanya sendiri, Mein Kampf. Di dalamnya ia mengusulkan agar kampanye dibatasi pada isu yang bersifat emosional dan dikemas dalam kosakata politik yang sederhana dan mudah diingat. Selain itu pesan yang biasanya membidik emosi khalayak diulang sebanyak mungkin. NSDAP juga menghindari diferensiasi dan cendrung memukul rata obyek serangannya.
Bahasa Kaum Fasis
Menurut pakar filsafat Jerman, Hannah Arendt, kaum fasis banyak mempropagandakan kebohongan. Saat itu, tulis Arendt dalam The Origins of Totalitarianism, kaum intelektual berupaya menghalau politik kebohongan Hitler dengan fakta. Namun, politik kebohongan Hitler dirancang untuk membunuh akal sehat.
Didukung Petani dan Pengusaha
Berbeda dengan anggapan umum bahwa pemilih Hitler merupakan pengangguran yang frustrasi atas kondisi ekonomi, sebuah studi teranyar mencatat pemilih terbesar NSDAP adalah petani, pensiunan dan pengusaha terutama pemodal berkocek tebal yang mengimpikan kemajuan ekonomi lewat jalur cepat seperti yang dijanjikan oleh NSDAP.
Genting di Berlin
Menjelang pemilu Juli 1932 situasi politik di Jerman menyerupai perang saudara. Konflik berdarah antara simpatisan merajalela. Pada Juni 1932, 86 orang tewas dalam bentrok antara kaum sosialis dan sayap paramiliter NSDAP. Saat itu partai-partai pro demokrasi masih berharap hasil pemilu akan menggugurkan dominasi satu partai. Namun NSDAP justru keluar sebagai pemenang terbesar dengan 37,4% suara.
Nafsu Kuasa
Lantaran partai-partai politik gagal membentuk pemerintahan mayoritas, Jerman kembali menggelar pemilu pada November 1932. Kali ini NSDAP kehilangan banyak suara. Sebaliknya kaum sosialis menguasai 36% kursi di parlemen. Namun lantaran birahi politik ingin berkuasa, para politisi papan atas Jerman 'tersihir' oleh rayuan Hitler, memilih berkoalisi dengan NSDAP dan mengusung Hitler sebagai kanselir.
Perebutan kekuasaan
Pada 30 Januari 1933 Hitler dilantik sebagai Kanselir. Ia lalu meminta Presiden Paul von Hindenburg membubarkan parlemen lantaran kebuntuan politik menyusul tidak adanya kekuatan mayoritas di parlemen. Permintaannya dikabulkan. Pada pemilu 1933 Hitler menggunakan kekuasaanya untuk menekan musuh-musuh politiknya. Pemilu tidak lagi bebas, dan NSDAP menjelma menjadi kekuatan mutlak di parlemen.
Kematian Demokrasi
Sejak itu Nazi-Hitler yang meleburkan perangkat partai dengan lembaga negara secara cepat mempreteli parlemen dan struktur demokrasi warisan Republik Weimar. Demokrasi hancur, dan para elit politik bersimpuh di bawah komando Hitler.
Deutshe Welle