Hari-hari Penuh Intrik Menjelang Malam Jahanam 30 September 1965


Presiden pertama RI Soekarno, proklamator kemerdekaan Indonesia, namanya tercoreng akibat TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno. Beleid itu secara tersirat menuding Bung Karno, sapaan Soekarno, terlibat agenda pemberontakan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI.

Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR RI telah resmi mencabut ketetapan tersebut. Surat pencabutan dari pimpinan MPR RI itu telah diserahkan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo kepada keluarga Bung Karno, di antaranya Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri, Guntur Soekarnoputra, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.

“Saudara-saudara yang hadir pada pagi hari ini akan menjadi saksi sejarah secara langsung untuk mengikuti acara penyerahan surat pimpinan MPR RI kepada Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia serta kepada keluarga besar Bung Karno,” kata Bambang Soesatyo, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 9 September 2024.

Adapun isi TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 itu:

Menetapkan:

Ketetapan Tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara Dari Presiden Sukarno

BAB I

Pasal 1

Menyatakan, bahwa Presiden Soekarno telah tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban konstitusional, sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 2

Menyatakan bahwa Presiden Soekarno telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 3

Melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya ketetapan ini menarik kembali mandat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dari Presiden Soekarno serta segala Kekuasaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 4

Menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) No. XV/MPRS/1966, dan mengangkat Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum.

Pasal 5

Pejabat Presiden tunduk dan bertanggung-jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara).

Peneliti Australia, Jess Melvin dalam bukunya berjudul "The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder" mengungkapkan: Dalam periode menjelang terjadinya G30S 1965 TNI/ABRI khususnya Angkatan Darat dan PKI tengah bersaing memperebutkan kekuasaan.

Pada Agustus 1965, Presiden Soekarno mengumumkan pembentukan tentara rakyat yang disebut Angkatan Kelima yang merupakan gagasan Partai Komunis Indonesia (PKI). Angkatan Kelima ini diambil dari (kader PKI) kalangan buruh dan petani yang akan dipersenjatai dengan persenjataan dari bantuan Partai Komunis China..

Hal ini menimbulkan kegusaran di kalangan pimpinan militer khususnya Angkatan Darat yang khawatir Angkatan Kelima ini digunakan oleh PKI untuk merebut kekuasaan, meniru revolusi komunis Tiongkok (RRC). Oleh karena itu, pimpinan Angkatan Darat menolak.

Di sisi lain, militer khususnya Angkatan Darat yang anti komunis diisukan bersekutu dengan pemerintah Amerika Serikat dan disebut menyusun strategi untuk mengambil alih kekuasaan bila situasi memburuk.

Pada situasi pra G30S itu, terjadi konflik yang cukup panas antara Angkatan Darat dengan PKI terutama untuk mengantisipasi kepemimpinan nasional pasca Presiden Soekarno.

Taomo Zhou, Asisten Profesor di Universitas Teknologi Nanyang (NTU), Singapura, menguraikan kondisi Sukarno menjelang G30S/PKI. Tulisannya bertajuk 'China dan Gerakan 30 September' dimuat dalam Jurnal 'Indonesia' Volume 98, tahun 2014, terbitan Cornell University Southeast Asia Program.

Rumor kondisi kesehatan Soekarno yang memburuk membuat pikiran-pikiran kotor kudeta tumbuh di benak para politikus kiri. Ada pihak yang hendak menggantikan Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia bila Soekarno meninggal dunia.

China mengirimkan bantuan. November 1964, tim medis yang dipimpin urologis Dr Wu Jieping tiba di Indonesia. Dokter China mengatakan Bung Karno bukan sakit gara-gara batu ginjal (meski ada pula masalah ginjal), melainkan karena masalah kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah).

Pada Agustus 1965, Bung Karno menderita vasospasme serebral, penyempitan pembuluh darah arteri otak. Politikus-politikus menjadi ribut. Inilah yang dikatakan memicu eskalasi ketegangan sebelum G30S.

Pagi hari 4 Agustus 1965, Soekarno pusing setelah bangun tidur, vertigo, mual, muntah, dan berkeringat. Pukul 10.00 WIB, tim medis China berada Istana Kepresidenan untuk memeriksa Bung Karno.

"Sampai sejauh ini, belum jelas betul apakah kondisi Presiden akan memburuk atau tidak. Sekarang kami memberikan perawatan untuknya, dan tidak ada tanda bahwa Presiden akan pingsan. Tolong kabarkan ke Aidit (DN Aidit, Ketua CC PKI)," demikian bunyi pesan dokter dari China.

Kabar kondisi kesehatan Soekarno yang memburuk membuat pikiran-pikiran kotor kudeta tumbuh di benak para politikus. Ada pihak yang hendak menggantikan Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia bila Soekarno meninggal dunia.

Tanggal 30 September malam, sejumlah prajurit Tjakrabirawa pimpinan Letkol Untung bergerak menculik enam jenderal dan seorang kapten: Jenderal Ahmad Yani, Letnan Jenderal Suprapto, Letnan Jenderal MT Haryono, Letnan Jenderal S Parman, Mayor Jenderal DI Pandjaitan, Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, dan Kapten Pierre Tendean.

Jenazah mereka kemudian ditemukan di sebuah sumur di Lubang Buaya, Jakarta.

Jenderal AH Nastion lolos dari penculikan, namun putrinya Ade Irma Suryani tewas, sementara ajudannya, Kapten Pierre Tendean, jadi korban, diculik bersama enam jenderal:

Berita dan editorial koran milik PKI, Harian Rakyat edisi 2 Oktober 1965, menjadi salah satu bukti keterlibatan PKI dalam pembunuhan sejumlah jenderal Angkatan Darat oleh Gerakan 30 September:



Markas Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jakarta, pada 8 Oktober, hancur lebur oleh amukan massa, menyusul Peristiwa G30S.

13 
Oktober 1965: Sekelompok mahasiswa Muslim membakar markas Pemuda Rakyat di Jakarta.

Panglima Kostrad, Mayjen Soeharto bergerak cepat, memadamkan pemberontakan. Perburuan pada para pelaku G30S dilakukan cepat. PKI dinyatakan berada di balik gerakan pengambil alihan kekuasaan dengan kekerasan. Para tokohnya diburu dan ditangkap.

Oktober 1965: Sejumlah mahasiswa dari beberapa kelompok Islam dalam demonstrasi di jakarta menuntut pembubaran PKI.

Berbagai kelompok turun ke jalan, menuntut pembubaran PKI. Sebagian juga menghancurkan markas PKI di berbagai daerah, dan menyerang lembaga-lembaga, toko, kantor, juga universitas yang dituding terkait PKI.

Video: Melawan Lupa - Angkatan 66

bbc, detik, metrotv, zaman
Next Post Previous Post