Kisah Yamaguchi Bisa Selamat dari Bom Atom Hiroshima-Nagasaki
Jepang pada pertengahan tahun 1945 sedang gencar-gencarnya terlibat dalam Perang Dunia 2 melawan sekutu. Banyak kapal pembawa minyak hancur terkena bom. Karena itulah, jasa dan pengetahuan milik insinyur perkapalan seperti Tsutomu Yamaguchi sangat dibutuhkan untuk merancang kapal-kapal baru.
Tsutomu Yamaguchi lahir di Nagasaki tahun 1916. Pada pertengahan tahun 1945, perusahaan tempatnya bekerja mengirim insinyur muda ini untuk bekerja selama tiga bulan di perusahaan pembuat kapal Mitsubishi Heavy Industries di Hiroshima bersama dua rekannya.
Pagi tanggal 6 Agustus 1945 seharusnya jadi pagi terakhir bagi Yamaguchi bekerja di Hiroshima. Ia akan segera pulang ke rumahnya di Nagasaki, tempat keluarga besarnya, istri serta bayi mereka yang saat itu baru berusia beberapa bulan.
Pagi itu Yamaguchi seperti biasa berangkat ke kantor bersama dua orang rekannya. Dia ingat mendengar suara mesin pesawat terbang di udara. Tapi di Hiroshima itu bukan hal yang luar biasa mengingat kota itu adalah kota industri dan basis militer. Sama sekali tidak ada yang tahu bahwa suara pesawat yang ia dengar adalah suara mesin pesawat pengebom B-29 milik Amerika Serikat, yang sebentar lagi akan mengubah nasib banyak orang.
Tiba-tiba Yamaguchi melihat kilatan cahaya yang membutakan mata. Bom atom pertama meledak hanya 600 meter di atas kota Hiroshima. Awan jamur terlihat membumbung tinggi ke udara. Pagi itu bahkan baru pukul 8.15. Yamaguchi jatuh tersungkur dan pingsan. Saat kembali membuka mata, Yamaguchi merasakan sakit yang teramat sangat di telinga. Yamaguchi memutuskan untuk segera pergi dari tempat itu.
Pagi itu tanggal 6 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom yang dijuluki “Little Boy” di Hiroshima, menewaskan sedikitnya 140 ribu orang dari total penduduk Hiroshima saat itu berjumlah sekitar 350 ribu jiwa. Sekitar 70 ribu orang diperkirakan meninggal langsung karena ledakan bom atom, sementara puluhan ribu lainnya meninggal kemudian akibat efek samping dan radiasi yang ditimbulkan.
‘Jalan neraka’ menuju stasiun kereta
Namun Yamaguchi selamat. Dengan kepala dan lengan menderita luka bakar berat, pemuda yang saat itu baru berusia 29 tahun ini berjalan gontai ke arah reruntuhan galangan kapal Mitsubishi tempatnya bekerja. Di sana, ia menemukan kedua rekan kerjanya, Akira Iwanaga dan Kuniyoshi Sato. Mereka juga selamat.
Yamaguchi ingat harus menghabiskan malam tanggal 6 Agustus 1945 di sebuah tempat penampungan. Orang-orang di sekitarnya berteriak kesakitan dan tengah sekarat. Dia sendiri tidak bisa tidur.
Keesokan paginya tanggal 7 Agustus, Yamaguchi dan dua rekannya memutuskan pergi ke stasiun kereta api. Katanya, menurut informasi yang mereka dengar, ada kereta yang – entah bagaimana caranya – masih beroperasi.
Namun perjalanan dari tempat penampungan menuju stasiun kereta sungguh ibarat film horor yang menggambarkan kengerian. Api masih berkobaran di sana-sini, bangunan-bangunan hancur, mayat-mayat bergelimpangan di jalan-jalan, sebagian meleleh dan hangus terbakar. Kulit para korban digambarkan ibarat lelehan plastik yang tergantung, terkupas dari tubuh mereka.
Jembatan-jembatan di Hiroshima telah hancur. Yamaguchi ingat, di sebuah sungai, dengan wajah dan lengan penuh luka akibat bom atom, ia terpaksa berenang melewati tumpukan mayat yang mengambang agar bisa sampai ke stasiun.
Sesampainya di stasiun, kereta yang dinaiki Yamaguchi penuh dengan penumpang yang mengalami luka bakar akibat bom. Kebanyakan dari mereka berada dalam keadaan linglung. Hari itu Yamaguchi naik kereta malam ke kampung halaman di Nagasaki. Tempat ia lahir dan menghabiskan masa kecilnya. Tempat keluarganya tinggal dan ia berharap mendapatkan rasa aman dan perawatan di sana. Sama sekali ia tidak tahu, apa yang akan segera menimpanya.
Nagasaki, 9 Agustus 1945
Tiba di Nagasaki tanggal 8 Agustus 1945, Yamaguchi langsung mengunjungi sebuah rumah sakit untuk dirawat oleh seorang dokter yang tidak lain adalah teman sekolahnya. Namun karena luka bakar yang menghitam di lengan dan wajahnya, dokter itu tidak dapat langsung mengenali Yamaguchi. Saat ia kembali ke rumah penuh dengan bebatan perban, ibunya bahkan sempat mengira ia hantu.
Meski sama sekali belum pulih dari luka-lukanya, Yamaguchi memutuskan berangkat ke kantor Mitsubishi kota Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945 untuk melapor. Arus informasi saat itu berbeda jauh dengan sekarang. Hari itu, orang-orang di Nagasaki sama sekali tidak tahu apa yang telah menimpa Hiroshima.
Sekitar pukul 11 pagi, ia bertemu dengan seorang direktur yang menginginkan laporan penuh tentang kejadian di Hiroshima. Ia pun melaporkan semua yang ia ingat, tentang cahaya yang membutakan mata, tentang suara ledakan yang menulikan telinga.
Namun atasannya ragu dan bertanya, bagaimana mungkin sebuah bom bisa menghancurkan keseluruhan kota?
Tepat pada saat itulah, saat Yamaguchi hendak menyakinkan atasannya, kilatan cahaya membutakan yang sama seperti di Hiroshima kembali terlihat. Yamaguchi tersungkur ke lantai, lukanya kembali menganga, kali ini luka itu penuh debu dari bangunan yang hancur di sekitarnya.
“Saya pikir, awan jamur itu telah mengikuti saya dari Hiroshima,” ujar Yamaguchi kepada harian The Independent. Untuk kedua kalinya, Yamaguchi kembali mengalami ledakan bom atom, kali ini, ia juga selamat.
Yang ada dalam ingatan Yamaguchi saat itu adalah anak dan istrinya. Yamaguchi bergegas pergi dari reruntuhan kantornya menuju rumah. Ketakutannya membuncah ketika melihat satu sisi rumahnya telah menjadi puing-puing. Namun ternyata, istri dan anaknya yang saat itu berusia 5 bulan selamat dan hanya menderita luka ringan. Hari itu, istri Yamaguchi bersama bayinya pergi keluar rumah guna mencari salep untuk obat luka bakar suaminya. Saat bom menghajar, ia dan bayinya berlindung di sebuah lorong.
Hidup memang seringnya ironis. Jika saja Yamaguchi tidak terluka akibat bom atom di Hiroshima, istri dan bayinya hari itu mungkin tidak akan keluar rumah untuk mencari salep kulit. Kemungkinan mereka akan tetap tinggal di rumah dan terbunuh bom atom Nagasaki.
Tsutomu Yamaguchi di akhir hidupnya banyak membagikan pengalamannya atas kengerian tragedi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang.
DW, CNN, BBC, the independent, guardian, history.com, Netflix