Tragedi Cinta Sutan Sjahrir dengan Nyonya Belanda
Maria Duchateau, seorang perempuan Belanda yang dikenal Sjahrir di negeri kincir angin saat mengenyam studi pada tahun 1931.
Maria adalah istri seorang tokoh Sosialis Belanda, Sol Tas yang memiliki dua orang anak. Sol Tas juga merupakan salah satu teman Sjahrir dalam berdiskusi di Belanda.
Hubungan asmara antara Sjahrir dengan Maria terjalin di saat hubungan pernikahannya dengan Sol Tas renggang. Maria juga tidak lagi tinggal satu rumah dengan suaminya itu.
Namun, di bulan November 1931, Sjahrir memutuskan kembali ke tanah air untuk bergabung dengan kelompok pergerakan di Indonesia dan mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) Baru bersama Bung Hatta.
Hubungan antara Sjahrir dan Maria terus dilakukan meski keduanya terpisahkan jarak. Surat menjadi satu-satunya cara mereka memadu kasih di tengah era penjajahan Belanda di Indonesia saat itu.
Empat bulan sesudah Sjahrir meninggalkan Belanda, Maria bersama kedua anaknya bertolak ke Indonesia untuk menyusul pria kelahiran Padang Panjang, 5 Maret 1909 itu. Tak sabar menunggu perempuan yang dicintainya, Sjahrir pun menyusul dari Batavia ke Medan, tempat berlabuhnya kapal yang dinaiki Maria dan kedua anaknya.
Keduanya kemudian memutuskan menikah tak lama setelah itu, tepatnya pada 10 April 1932 di sebuah masjid di Medan. Mereka pun tinggal di sebuah rumah di kota Medan, berbelanja kebutuhan sehari-hari di Pasar Kesawen, ataupun sekedar berjalan santai bergandengan tangan mesra di Grand Hotel yang disebut terlarang bagi pribumi.
Pernikahan dua ras yang berbeda itu menjadi perhatian mencolok. Dengan cepat, berita soal Sjahrir bersama Maria tersiar ke kalangan masyarakat Belanda hingga penduduk pribumi.
Surat kabar setempat bahkan memuat artikel untuk mendesak pemerintah bertindak terhadap Sjahrir dan istrinya. Maria pun pernah dihentikan di tengah jalan oleh orang kulit putih lain yang bertanya apakah dia butuh bantuan.
Surat kabar De Sumatra Post mengangkat berita utama soal pasangan eksentrik ini dengan judul "Wanita memakai sarung dan kebaya, di bawah pegawasan polisi" pada 13 Mei 1932.
Dengan semakin maraknya pemberitaan Sjahrir dan Maria, kabar pun dengan cepat tersiar bahwa Maria belum resmi bercerai dari suami sebelumnya, Sol Tas yang ada di Belanda. Sehingga, pernikahan Sjahrir dengan Maria dianggap tidak berlaku oleh pejabat Islam, hanya berselang satu bulan pasca pernikahan mereka.
Atas keputusan itu, pejabat Belanda memulangkan Maria kembali ke kamung halamannya dengan menggunakan kapal. Peristiwa ini juga dijadikan peringatan dari pemerintah Belanda kepada aktivits PNI.
Setelah dipulangkan ke Belanda, Maria terus mencari akal untuk bisa kembali bertemu sang suami. Dia bersurat kepada Ratu Belanda untuk bisa membawa kembali Sjahrir untuk melanjutkan studi di Belanda, namun permintaan itu ditolak.
Maria terus berkirim surat, kali ini alasannya ingin kembali ke Indonesia untuk bertemu dengan suami, namun permintaan itu tak pernah dijawab oleh sang ratu. Hingga pada tahun 1934, pemerintah Belanda meringkus puluhan anggota PNI, tak terkecuali Bung Hatta dan Sjahrir.
Sjahrir ditangkap hanya saat hendak bertolak ke Belanda menyusul perempuan yang begitu dicintainya. Sebuah tiket kapal SS Aramis sudah dipesannya jauh-jauh hari, namun percuma saja. Pertemuan Sjahrir dengan Maria kembali gagal karena yang memiliki pengetahuan luas di bidang hukum, sosiologi, dan politik itu harus mendekam di balik jeruji penjara Cipinang.
Setelah empat bulan di penjara Cipinang, kontak Sjahrir dengan dua luar terputus. Satu-satunya kontak yang dilakukan Sjahrir hanyalah surat yang secara rutin satu bulan lima kali dia kirimkan untuk Maria.
Sjahrir dikenal orang yang tidak tahan akan kesendirian. Maka dari itu, berkiirm surat kepada orang yang dikasihinya menjadi satu-satunya cara Sjahrir terselamat dari depresi kesendirian. Apa pun diceritakan Sjahrir kepada Maria dalam bahasa Belanda mulai dari ukuran sel tahanannya hingga makanan di penjara.
"Makin lama aku makin banyak melupakan apakah selera dan perangsang itu. Aku kini menganggap makan sebagai kewajiban, dan dengan demikian rasa kenyang beralih dari makan ke arah yang dimakan, kira-kira cara yang sama dengan orang yang merasa puas menyelesaikan sebuah pekerjaan. Kepuasan rohani dari jiwa lebih banyak daripada kepuasan hawa nafsu perut jadi kepuasan dengan spiritualital 'yang lebih tinggi'. Kamu dapat melihat apa yang ditekan jika makan memakai semangkok dari kaleng," tulis Sjahrir dalam suratnya untuk Maria.
Pada tanggal 16 November 1934, diputuskan bahwa lima pimpinan PNI diasingkan ke Boven Digul yang sangat terpencil. Bung Hatta dan Sjahrir turut di dalamnya. Mereka menganggap pengasingan itu sebagai sebuah tamasya yang tak jelas kapan selesainya.
Kisah perjalanan mereka menuju Boven Digul yang saat itu ditakuti karena wabah malaria yang mematikan pun diceritakan Sjahrir kepada Maria dengan pandangan lebih optimis. Dia juga menceritakan buku-buku bacaanya selama menjadi tahanan yakni kitab Injil, novel, sama sekali tidak ada mengenai politik.
Dia pun bercerita soal interaksinya dengan "orang buangan" di Digoel yang tidak terpelajar. Selama di sana, tingkah laku Sjahrir cukup aneh. Sjahrir lebih senang berkelana melalui perahu kano menyusuri Sungai Digoel, berenang, hingga bermain bola. Sjahrir pun dikenal sebagai "pengelana jenaka".
Selama berada di pengasingan, Sjahrir seolah melepaskan diri dari dunia politik. Hal ini berbeda dengan rekannya, Bung Hatta yang masih aktif mengirimkan tulisan-tulisannya ke surat kabar.
Setelah ditelusuri, ternyata Sjahrir membuat kesepakatan dengan pemerintah Belanda untuk tidak menuliskan atau pun terlibat dalam pergerakan politik apa pun. Dengan membuat kesepakatan itu, Sjahrir mendapat tambahan uang dari Belanda untuk biaya korespondensi dengan Maria dari yang semula 2,6 gulden menjadi 7,5 gulden.
Bagi Sjahrir, Maria adalah penyemangat hidupnya. Tidak pernah dia, semenjak ibunya Rabiah meninggal, begitu sungguh-sungguh berbicara dengan wanita.
Ketika Perang Dunia II meletus, Belanda diduduki pasukan Nazi Jerman sehingga seluruh korespondensi terputus. Mulai dari 1931-1940, Maria menerima 287 surat dengan panjang antara 4-7 halaman dari Sjahrir.
Sabrina Asril, National Geographic, Metro TV