Psikologi Mengungkap Bagaimana Pikiran Bawah Sadar Mempengaruhi Sikap dan Tindakan Kita


Artikel ini ditulis oleh Magda Osman, seorang peneliti psikologi eksperimental di Universitas Queen Mary, London.

Terkadang, ketika saya bertanya kepada diri sendiri mengapa saya membuat pilihan tertentu, saya tidak punya jawabannya. Memangnya, sejauh mana kita dikendalikan oleh hal-hal yang kita putuskan secara tidak sadar?

Mengapa Anda membeli pakaian model tertentu? Mengapa Anda jatuh cinta kepada pasangan Anda?

Ketika kita mulai memikirkan dengan saksama alasan di balik pilihan hidup kita — baik yang penting maupun sederhana — terkadang kita sendiri tidak tahu jawabannya.

Ini membuat kita bertanya-tanya, apakah kita benar-benar mengetahui pikiran kita sendiri?

Beruntung, ilmu psikologi memberi kita jawaban penting, sekaligus mengejutkan.

Psikolog Benjamin Libet, pada 1980-an melakukan eksperimen yang tampak sederhana, namun menimbulkan banyak perdebatan.

Para peserta eksperimen diminta duduk santai di depan sebuah jam. Di permukaan jam ada cahaya yang berputar di sekelilingnya.

Mereka diminta untuk menggerakkan pergelangan tangan ketika merasa ingin melakukannya dan mengingat posisi lampu di jam.

Selama eksperimen berlangsung, aktivitas para peserta direkam dengan electroencephalogram (EEG).

Melalui eksperimen ini, Libet berhasil membuktikan bahwa pengaturan waktu sangat penting - waktu memberi petunjuk penting apakah alam bawah sadar memainkan peran penting dalam apa yang akan kita lakukan.

Dia menunjukkan bahwa aktivitas listrik di otak terbentuk jauh sebelum seseorang secara sadar memutuskan menggerakkan pergelangan tangan, kemudian benar-benar melakukannya.

Dengan kata lain, mekanisme bawah sadar, melalui persiapan aktivitas saraf, mempersiapkan diri kita untuk melakukan tindakan tertentu.

Tapi ini semua terjadi sebelum kita sadar bahwa kita mau melakukan sesuatu.

Ketidaksadaran kita tampaknya mengatur semua tindakan yang kita lakukan.

Namun, seiring perkembangan ilmu pengetahuan, kita bisa merevisi dan memperbaiki apa yang kita tahu.

Eksperimen Libet direka ulang pada 2018 dan kita mendapati bahwa kesimpulan Libet yang mengatakan alam bawah sadar mengatur cara kita mengambil keputusan, adalah sesuatu yang dilebih-lebihkan.

Cara lain untuk mengetahui apakah alam bawah sadar mengatur tindakan kita, adalah dengan melihat kasus-kasus di mana kita tahu manipulasi bawah sadar akan terjadi.

Dalam iklan, misalnya.

Anda mungkin pernah mendengar istilah 'pesan subliminal', yakni bagaimana pemilik produk berusaha memengaruhi alam bawah sadar konsumen dengan rangsangan visual maupun suara.

James Vicary, seorang psikolog sekaligus ahli pemasaran pada 1950-an, memperkenalkan konsep ini.

Dia meyakinkan seorang pemilik bioskop untuk menggunakan perangkat yang diciptakannya untuk mengedip-kedipkan pesan di layar selama film berlangsung.

Pesan-pesan seperti "Minum Coca-Cola" dengan durasi sedetik muncul selama 3.000 kali. Dia mengklaim penjualan minuman ini melonjak setelah film usai.

Setelah kehebohan terkait etika dalam temuan ini, Vicary mengaku bahwa semuanya hanyalah tipuan — dia telah mengarang data.

Faktanya, sangat sulit membuktikan melalui eksperimen di laboratorium, bahwa menunjukkan kilasan kata-kata tertentu bisa memicu alam bawah sadar untuk memanipulasi kita, untuk pada akhirnya benar-benar melakukan sesuatu.

Tapi yang paling menarik dari semua kontroversi ini adalah, orang masih percaya - seperti terlihat pada penelitian terbaru - bahwa metode seperti pesan subliminal dalam iklan masih berfungsi.

Apakah kita membuat keputusan tanpa memikirkannya secara sadar?

Untuk menemukan jawabannya, para peneliti telah menyelidiki tiga bidang: sejauh mana pilihan kita didasarkan pada proses bawah sadar, apakah proses bawah sadar itu bias (misalnya, seksis atau rasis), dan apakah ada yang bisa dilakukan untuk memperbaiki proses pengambilan keputusan ini.

Untuk poin pertama, sebuah studi meneliti apakah pilihan terbaik sebagai konsumen didasarkan pada pemikiran aktif atau tidak.

Temuan itu mengejutkan: orang-orang ternyata membuat pilihan lebih baik ketika tidak berpikir.

Para peneliti berpendapat, ini terjadi karena proses pemikiran bawah sadar kita lebih tak terbatas ketimbang pemikiran sadar, yang membuat sistem kognitif bekerja keras.

Proses bawah sadar, seperti intuisi, berfungsi secara otomatis dan mensintesis berbagai informasi kompleks - ini memberi keuntungan lebih dibandingkan berpikir secara sadar.

Seperti halnya penelitian Libet, penelitian ini menarik banyak orang.

Sayangnya, usaha untuk mereplikasi penelitian ini sangat susah, terutama di area-area di mana pemikiran bawah sadar kemungkinan banyak digunakan: seperti pada detektor kebohongan, pengambilan keputusan medis, dan pengambilan keputusan terkait hubungan cinta yang berisiko.

Lebih dari itu, tentu saja akan selalu ada beberapa faktor yang memengaruhi bagaimana kita mengambil keputusan, seperti emosi, suasana hati, kelelahan, kelaparan, stres, dan keyakinan.

Bagaimana dengan bias dalam pengambilan keputusan?

Sebuah penelitian mengatakan, dengan teknik yang sekarang telah diadopsi secara luas, bernama tes asosiasi implisit (IAT), setiap orang memiliki sikap bias di bawah sadar (seperti diskriminasi ras dan gender).

Tes ini juga menunjukkan bahwa sikap ini dapat memengaruhi kita membuat keputusan yang bias dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam hal pekerjaan, hukum, medis dan keputusan-keputusan penting untuk orang lain.

Namun, ada dua masalah dengan IAT: tes ini ditemukan tidak konsisten dan memiliki validitas rendah.

Upaya-upaya lain telah dilakukan untuk membantu kita membuat keputusan lebih baik dalam kehidupan sehari-hari.

Penerima Nobel, Richard Thaler dan Cass Sunstein menemukan bahwa keputusan yang dibuat dengan tergesa-gesa biasanya dibikin dalam keadaan bawah sadar.

Untuk mengubahnya, Thaler dan Sunstein berkata kita harus mengubah cara berpikir bawah sadar agar proses pengambilan keputusan kita lebih baik.

Salah satu caranya adalah dengan 'mencolek' (nudge) orang-orang sehingga mereka menyadari pilihan yang lebih baik.

Misalnya, dengan menempatkan permen di lorong yang lebih susah diakses ketimbang buah di supermarket.

Riset ini telah diadopsi secara global oleh berbagai institusi swasta dan publik.

Tapi psikologi nudge ini juga bisa gagal, bahkan jadi bumerang, apabila nudge yang dipakai salah atau tidak sesuai konteks.

Lagi-lagi, teori psikologi nudge ini sepertinya membuktikan bahwa manusia sebenarnya begitu mudah dipengaruhi.

Manusia menganggap dirinya memiliki pilihan bebas (free choice) di semua konteks, bahkan ketika kita melihatnya sedang diserang oleh mekanisme yang secara bawah sadar memanipulasi kita.

Tapi kita meyakini bahwa kita punya lebih sedikit kontrol dan tanggung jawab di area tertentu, berdasarkan seberapa penting hal tersebut bagi kita.

Misal, kita mengklaim keputusan kita memilih siapa dalam pemilu dibuat dengan lebih sadar, ketimbang apa menu sarapan kita.

Maka, kita tak keberatan bila merek sereal yang kita pilih adalah dampak dari iklan subliminal, tapi kita cenderung tak terima bila keputusan politik kita didikte oleh kekuatan teknologi media sosial.

Terlepas dari berbagai jurnal penelitian yang mengatakan bahwa manusia mengambil keputusan dipengaruhi oleh pemikiran bawah sadar, bukti ilmiah lebih kuat menunjukkan bahwa kita lebih banyak menggunakan pemikiran sadar ketimbang bawah sadar.

Kita mungkin tidak selalu sepenuhnya menyadari mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan, tapi ini mungkin karena kita tak selalu memperhatikan sinyal-sinyal atau motivasi pikiran kita.

Jadi, mengapa Anda jatuh cinta dengan pasangan Anda?

Mungkin karena dia membuat Anda merasa kuat dan aman, membuat Anda merasa tertantang, atau karena dia wangi.

Sama seperti semua keputusan yang harus kita buat, alasannya bisa beragam, dan tidak ada jawaban tunggal.

Yang jelas, tidak mungkin Anda mengambil keputusan hanya mengandalkan pikiran bawah sadar semata.



Magda Osman BBC Future
Next Post Previous Post