Amandemen UU TNI Dinilai Dapat Menghancurkan Reformasi
Banyak pasal bermasalah, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak DPR untuk menghentikan revisi UU TNI karena berpotensi merusak demokrasi dan upaya reformasi TNI.
Selain itu, Presiden Joko Widodo diharapkan tidak mengirimkan surat presiden, sehingga revisi tersebut tidak dapat dibahas bersama DPR dan pemerintah. Pasalnya, keputusan mengenai kelanjutan pembahasan kini berada di tangan pemerintah, yang memiliki jangka waktu 60 hari untuk mengirimkan surat presiden jika setuju melanjutkan pembahasan RUU bersama DPR.
Ketua YLBHI Muhammad Isnur mengatakan pemerintah harus menganalisis dengan tepat dan mendalam terkait substansi dari RUU TNI itu. Koalisi masyarakat sipil menemukan pasal-pasal yang membahayakan Indonesia ke depan mulai dari sisi keamanan, hubungan antarkelembagaan, perlindungan hak asasi manusia hingga ruang demokrasi.
“Jokowi harusnya berfikir apa yang dilakukan adalah legacy, warisannya. Kalau Jokowi segera mengesahkan dan mengirim surpres (surat presiden -red), berarti Jokowi tidak mempertimbangkan dengan baik aspek-aspek kebutuhan demokratisasi di Indonesia. Aspek-aspek yang membawa jurang kehancuran bagi TNI itu sendiri,” ungkap Isnur.
Namun, lanjutnya, jika Jokowi tetap mengirimkan surpres persetujuan, maka komitmen mantan wali kota Solo itu terhadap demokrasi dan perlindungan HAM dipertanyakan.
Setidaknya ada sejumlah poin bermasalah dalam revisi UU TNI, di antaranya terkait soal perluasan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara. Hal tersebut dinilai membahayakan demokrasi lantaran militer bisa digunakan untuk menghadapi masayrakat jika dinilai menjadi ancaman negara.
Penambahan jabatan sipil bagi prajurit aktif dari 10 menjadi 18 dianggap banyak pihak dapat melemahkan profesionalisme TNI yang seharusnya fokus pada tugas militer. Jabatan baru tersebut termasuk Staf Presiden, Kemenko Maritim dan Investasi, Kejaksaan Agung, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Keamanan Laut, Badan Penanggulangan Terorisme, Badan Penanggulangan Bencana, dan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan.
Selain itu, poin lain yang juga disorot adalah perluasan dan penambahan jenis operasi militer selain perang, yang meningkat menjadi 19 dari sebelumnya 14. Isu lain yang menjadi perhatian adalah perpanjangan usia pensiun prajurit dari 58 tahun menjadi 60 tahun.
Banyak Pasal Bermasalah
Pengamat keamanan dari Universitas Paramadina, Jakarta, Al Araf, menyatakan bahwa draf revisi UU TNI yang beredar di masyarakat masih mengandung pasal-pasal bermasalah, terutama terkait penempatan prajurit aktif pada jabatan sipil. Menurut Al Araf, hal tersebut membuka peluang kembalinya dwi fungsi ABRI, seperti pada masa lalu ketika tentara aktif menduduki posisi di kementerian dan jabatan sipil lainnya.
“Ini yang kemudian menjadi masalah dalam konteks penataan organisasi TNI, karena realitasnya penempatan jabatan ini tentu akan berdampak pada banyak hal. Satu, terhadap profesional militer itu sendiri karena tugas militer dipersiapkan untuk perang, dengan terlibat di jabatan sipil maka orientasi akan berubah,” ujar Al Araf.
Untuk itu, Al Araf menyatakan bahwa prajurit TNI tidak perlu menduduki jabatan sipil karena tugas utama TNI adalah sebagai alat pertahanan negara.
Dia juga mengkritik perpanjangan masa pensiun anggota TNI. Ia menekankan pentingnya mempertimbangkan efektivitas kerja personel di usia lanjut dari aspek fisik, psikis dan kapasitas. Menurutnya perpanjangan usia pensiun dapat menyebabkan penumpukan personel dalam tubuh TNI jika tidak dimbangi dengan restrukturisasi organisasi.
Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto justru menekankan pentingnya revisi UU TNI. Menurutnya, perubahan undang-undang, termasuk perluasan jabatan yang bisa diisi prajurit aktif, memang diperlukan. Selama ini, permintaan agar prajurit menjalankan tugas di sektor non-pertahanan terus berdatangan.
“Sekarang itu, banyak kementerian yang MoU dengan saya, dari Menkes (Menteri Kesehatan), Mentan (Menteri Pertahanan), KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) sampai BUMN. Di situ kan bisa dilihat bahwa kementerian membutuhkan ada kesatuan TNI sehingga ada jabatan di situ untuk melancarkan tugas-tugas kementerian tersebut,” kata Panglima TNI.
Agus Subiyanto menambahkan bahwa tugas non-pertahanan telah lama dijalankan oleh prajurit TNI. Ia mencontohkan prajurit yang mengajar anak-anak di Papua, memberikan pelayanan kesehatan, dan menangani bencana. Bahkan, lanjutnya, ketika Kementerian Komunikasi dan Informatika membangun stasiun pemancar dan penerima (BTS), tentara juga diperlukan sebagai pasukan pengamanan.
Dia juga menegaskan bahwa profesionalitas TNI tidak akan menurun jika terlalu banyak pekerjaan nonpertahanan yang diemban. Hal itu, tambahnya, dilakukan semata untuk membantu program pemerintah.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan lembaganya hingga saat ini belum menerima dan masih menunggu surat presiden untuk membahas revisi UU TNI ini.
voa, zid
Ketua YLBHI Muhammad Isnur mengatakan pemerintah harus menganalisis dengan tepat dan mendalam terkait substansi dari RUU TNI itu. Koalisi masyarakat sipil menemukan pasal-pasal yang membahayakan Indonesia ke depan mulai dari sisi keamanan, hubungan antarkelembagaan, perlindungan hak asasi manusia hingga ruang demokrasi.
“Jokowi harusnya berfikir apa yang dilakukan adalah legacy, warisannya. Kalau Jokowi segera mengesahkan dan mengirim surpres (surat presiden -red), berarti Jokowi tidak mempertimbangkan dengan baik aspek-aspek kebutuhan demokratisasi di Indonesia. Aspek-aspek yang membawa jurang kehancuran bagi TNI itu sendiri,” ungkap Isnur.
Namun, lanjutnya, jika Jokowi tetap mengirimkan surpres persetujuan, maka komitmen mantan wali kota Solo itu terhadap demokrasi dan perlindungan HAM dipertanyakan.
Setidaknya ada sejumlah poin bermasalah dalam revisi UU TNI, di antaranya terkait soal perluasan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara. Hal tersebut dinilai membahayakan demokrasi lantaran militer bisa digunakan untuk menghadapi masayrakat jika dinilai menjadi ancaman negara.
Penambahan jabatan sipil bagi prajurit aktif dari 10 menjadi 18 dianggap banyak pihak dapat melemahkan profesionalisme TNI yang seharusnya fokus pada tugas militer. Jabatan baru tersebut termasuk Staf Presiden, Kemenko Maritim dan Investasi, Kejaksaan Agung, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Keamanan Laut, Badan Penanggulangan Terorisme, Badan Penanggulangan Bencana, dan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan.
Selain itu, poin lain yang juga disorot adalah perluasan dan penambahan jenis operasi militer selain perang, yang meningkat menjadi 19 dari sebelumnya 14. Isu lain yang menjadi perhatian adalah perpanjangan usia pensiun prajurit dari 58 tahun menjadi 60 tahun.
Banyak Pasal Bermasalah
Pengamat keamanan dari Universitas Paramadina, Jakarta, Al Araf, menyatakan bahwa draf revisi UU TNI yang beredar di masyarakat masih mengandung pasal-pasal bermasalah, terutama terkait penempatan prajurit aktif pada jabatan sipil. Menurut Al Araf, hal tersebut membuka peluang kembalinya dwi fungsi ABRI, seperti pada masa lalu ketika tentara aktif menduduki posisi di kementerian dan jabatan sipil lainnya.
“Ini yang kemudian menjadi masalah dalam konteks penataan organisasi TNI, karena realitasnya penempatan jabatan ini tentu akan berdampak pada banyak hal. Satu, terhadap profesional militer itu sendiri karena tugas militer dipersiapkan untuk perang, dengan terlibat di jabatan sipil maka orientasi akan berubah,” ujar Al Araf.
Untuk itu, Al Araf menyatakan bahwa prajurit TNI tidak perlu menduduki jabatan sipil karena tugas utama TNI adalah sebagai alat pertahanan negara.
Dia juga mengkritik perpanjangan masa pensiun anggota TNI. Ia menekankan pentingnya mempertimbangkan efektivitas kerja personel di usia lanjut dari aspek fisik, psikis dan kapasitas. Menurutnya perpanjangan usia pensiun dapat menyebabkan penumpukan personel dalam tubuh TNI jika tidak dimbangi dengan restrukturisasi organisasi.
Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto justru menekankan pentingnya revisi UU TNI. Menurutnya, perubahan undang-undang, termasuk perluasan jabatan yang bisa diisi prajurit aktif, memang diperlukan. Selama ini, permintaan agar prajurit menjalankan tugas di sektor non-pertahanan terus berdatangan.
“Sekarang itu, banyak kementerian yang MoU dengan saya, dari Menkes (Menteri Kesehatan), Mentan (Menteri Pertahanan), KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) sampai BUMN. Di situ kan bisa dilihat bahwa kementerian membutuhkan ada kesatuan TNI sehingga ada jabatan di situ untuk melancarkan tugas-tugas kementerian tersebut,” kata Panglima TNI.
Agus Subiyanto menambahkan bahwa tugas non-pertahanan telah lama dijalankan oleh prajurit TNI. Ia mencontohkan prajurit yang mengajar anak-anak di Papua, memberikan pelayanan kesehatan, dan menangani bencana. Bahkan, lanjutnya, ketika Kementerian Komunikasi dan Informatika membangun stasiun pemancar dan penerima (BTS), tentara juga diperlukan sebagai pasukan pengamanan.
Dia juga menegaskan bahwa profesionalitas TNI tidak akan menurun jika terlalu banyak pekerjaan nonpertahanan yang diemban. Hal itu, tambahnya, dilakukan semata untuk membantu program pemerintah.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan lembaganya hingga saat ini belum menerima dan masih menunggu surat presiden untuk membahas revisi UU TNI ini.
voa, zid