Kiat Sukses Toko Es Krim Diaspora Indonesia di Las Vegas


Hidangan penutup khas Indonesia dijual di toko es krim Creamberry, di salah satu sudut kota Las Vegas, AS.


“Kita punya menu itu banyak banget variasinya, dari yang roll ice cream, dari toast, waffle, terus kita ada es campur juga,” demikian ungkap Rosalina Sie, diaspora Indonesia pemilik toko yang pertama kali buka tahun 2016 itu.


Namun, menu ‘Cotton Candy Burrito’-lah yang melambungkan nama tokonya ketika diulas oleh surat kabar setempat.

“Kebetulan sekali tamu-tamu kita benar-benar senang banget sama kreasi itu: cotton candy (permen kapas, red.) dengan es krim di dalamnya dan kombinasi itu orang-orang pada suka.”

Cotton candy buritto (atas) menjadi menu yang membuat Creamberry lebih dikenal.

Kekuatan Medsos dan Variasi Menu

Kreasi unik dan keragaman menu yang ia tawarkan menarik para pelanggan, termasuk Kimberly Oralao, yang menyebut Creamberry salah satu tempat nongkrong favoritnya.

“Saya lumayan sering ke sini bareng pacar. Jujur, mungkin sekali atau dua kali seminggu. Variasi menunya gila banget, kayaknya saya belum pernah lihat menu seberagam ini. Saya lihat mereka juga sering punya menu baru, jadi saya suka pengin coba yang baru-baru, ketimbang beli menu yang sama setiap kali ke sini,” ungkap Kimberly, yang kali itu datang bersama temannya, Hanna Lamon.

“Ini pertama kalinya saya ke sini, tapi saya rasa media sosial [berhasil] memengaruhi saya untuk mencoba-coba tempat baru, karena ketika saya lihat sesuatu di TikTok, saya suka bilang ‘Aduh, kayaknya enak banget,’ terus saya kirim ke kakak dan pacar saya, dan bilang, ‘kita harus ke sini,’ ‘kita harus ke situ,’ dan jadilah saya datangi tempat-tempat itu,” timpal Hanna.

Rosalina Sie kerap mengulik menu baru untuk ditawarkan di Creamberry.

Rosalina paham betul kekuatan media sosial sekaligus pentingnya memperbarui menu untuk memajukan usaha toko es krimnya. Sejak awal ia sudah bekerja sama dengan penulis blog kuliner untuk memperkenalkan bisnisnya ke pasar yang lebih luas, sambil rutin mengubah menu es krimnya setiap bulan, menyesuaikan momen-momen tertentu.

“Sangat membantu sekali, jadi kalau setiap kali dia pos atau kita pos [ke media sosial], terus bikin blogger-blogger yang lain – yang cukup terkenal – ikut pos kita punya produk, itu akan bikin viral dan bikin mereka (pelanggan, red.) keingat lagi, atau bikin mereka itu kayak kepengin lagi. Jadi mereka datang terus,” jelas Rosalina.

“Tapi, ya seperti yang saya bilang juga, kita harus tetap mengutamakan cita rasa. Itu harus sama,” imbuhnya.

Bukan hanya blogger lokal, bisnisnya juga disoroti sejumlah media dan figur publik nasional di Amerika, seperti Food Network, Ellen DeGeneres hingga akun @foodgod yang punya lebih dari 10 juta pengikut lintas media sosial.

Home of the Cotton Candy Burrito di Las Vegas, Nevada.

Lika-liku Bisnis di AS

Rosalina berasal dari keluarga pebisnis. Sebelum keluarganya pindah ke AS, orang tuanya membuka toko pakaian di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Setelah menetap di negeri Paman Sam, mereka lantas membuka restoran makanan China.

Sementara itu, ia sendiri terpikir untuk membuka toko es krim gara-gara kegemaran sang suami akan makanan pencuci mulut.

“Kenapa kita nggak buka saja satu toko yang khusus untuk dessert, yang pengunjungnya itu nggak hanya datang khusus untuk satu produk, tapi bisa berbagai produk,” kenang Rosalina.

Untuk memulai bisnisnya delapan tahun lalu, ia merogoh kocek hingga 300.000 dolar Amerika, atau sekitar Rp4,9 miliar. Kini, dengan 12 karyawan, ia membukukan keuntungan tahunan hingga 60.000 dolar Amerika, atau hampir Rp1 miliar.

Creamberry berada di Kota Las Vegas, Nevada.

Meski tampak manis, perjuangannya tidak sederhana. Di awal, ia harus bergelut dengan berbagai ketentuan ketat untuk bisa membuka tempat usaha. Perbedaan besar yang ia rasakan, antara berbisnis di Indonesia dan di Amerika, yaitu dalam aspek prosedur hukum, kelayakan tempat usaha, serta budaya pelanggan yang lebih menantang di AS.

Selain itu, ia sendiri harus turun tangan ke dapur untuk memastikan kualitas produk yang ia tawarkan.

“Kalau misalnya bisnis di Indonesia kan semua kita harap pegawai kita [yang kerjakan] ya, tapi kalau ini kita mesti turun tangan seratus persen,” ungkapnya. “… Ngontrol, belanja bahan-bahan baku yang dibutuhin, terus juga training mereka (pegawai, red.), tiap hari harus ada meeting, bagaimana kita harus melayani customer, gimana kita harus menjelaskan produk kita, terus saya juga harus cari tahu apa lagi yang harus saya bikin, menu-menu baru, biar orang nggak bosan.”

Pandemi COVID-19 juga sempat melumpuhkan bisnisnya di Las Vegas, kota yang mengandalkan pariwisata. Beruntung, toko es krimnya bisa bertahan berkat bantuan pemerintah AS bagi kalangan usaha, tidak seperti restoran orang tuanya yang terpaksa gulung tikar.

Terlepas dari itu, ia sadar produk yang ia tawarkan bukanlah kebutuhan pokok, sehingga ia tidak bisa sembarangan menentukan harga.

“Kayak sekarang ini, kebetulan [harga] barang-barang pada naik, [ongkos] pegawai naik, tapi kan harga kita nggak bisa selalu naik banyak, gitu, apalagi soal makanan ya, karena kan makanan kita cuma bisa naiknya 25 sen, 50 sen, apalagi dessert,” tutur Rosalina.

Rosalina kini mempekerjakan hingga 12 karyawan di toko es krimnya.

“Tapi ya kebetulan saya punya dessert itu kan cukup unik, jadi bikin orang pengin coba sih. Kebetulan turis-turis juga suka datang dari the Strip hanya untuk coba,” tambahnya, merujuk pada kawasan hiburan populer di kota itu.

Ia berharap strategi yang ia terapkan saat ini bisa membuat bisnisnya terus berkembang. Ia pun telah mendaftarkan bisnisnya untuk menjadi usaha waralaba (franchise), demi cita-cita yang lebih besar melihat gerai Creamberry buka di negara-negara bagian lainnya di Amerika.

Menurut hasil riset konsultan industri global IBISWorld tahun 2023, perkiraan cakupan pasar (market size) industri toko makanan pencuci mulut di Amerika mencapai 20,4 miliar dolar Amerika, atau sekitar Rp336,1 triliun. Selama lima tahun, dari 2018 hingga 2023, industri itu juga mengalami pertumbuhan rata-rata 5.0% per tahun di Amerika Serikat.


voa, le-review
Next Post Previous Post