Apa Itu Carbon Capture Storage dan Kenapa Disebut Justru Perparah Krisis Iklim
Pemerintah RI berencana menerapkan Carbon Capture and Storage (CCS/) sebagai komitmen mengurangi gas emisi rumah kaca. Namun aktivis lingkungan dan ekonom melihat teknologi tersebut justru akan semakin memperparah krisis iklim.
Beberapa aktivis lingkungan memperingatkan pemerintah untuk tidak menerapkan teknologi Carbon Capture and Storage dan Carbon Capture Utilisation and Storage (CCS/CCUS) sebagai salah satu upaya menekan emisi gas rumah kaca.
CCS dan CCUS merupakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon di mana karbon dioksida (CO2) dari berbagai sumber industri seperti PLTU batubara, PLTG, industri baja, industri migas dan lain-lain, dipisahkan, diolah, dan disimpan dalam lokasi penyimpanan jangka panjang.
Mareta Sari dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur mengkhawatirkan apabila teknologi CCS/CCUS benar-benar diberlakukan, akan menambah daftar panjang penderitaan masyarakat sekitar yang terdampak aktivitas pertambangan seperti polusi, pencemaran lingkungan dan masalah sosial lainnya.
“Dengan mekanisme penyimpanan karbon dengan regulasi yang ada saat ini, justru akan menambah titik-titik misalnya pencemaran, titik-titik kematian, atau berulang kematian di tempat yang sama, atau di konsesi yang sama, kemudian menambah jumlah krisis di tapak-tapak masyarakat adat karena hampir semua kawasan di Kaltim bersinggungan dengan kawasan tempat tinggal masyarakat adat,” ungkap Mareta.
Selain itu, kata Mareta, mekanisme CCS/CCUS juga dikhawatirkan akan memperparah situasi kesehatan masyarakat, terutama perempuan dan anak-anak, yang tinggal berdekatan dengan wilayah lingkar pertambangan. Perusahaan, ia yakin, akan terus melakukan berbagai penggalian dan melipatgandakan operasi. “Sehingga lagi-lagi masyarakat semakin merasakan daya rusak yang dihadirkan karena ada pencemaran terhadap air, tanah, udara, bahkan juga generasi karena ada kematian,” tambahnya.
Adapun situasi di Kalimantan Timur, kata Mareta, dalam konteks pertambangan batubara sejak tahun 2018 setidaknya menguasai 5,3 juta hektare kawasan daratan dengan total 1.404 izin. Namun, pada 2022-2023 terjadi penyusutan izin pertambangan menjadi hanya 319.
“Tetapi apakah ini kemudian mengubah situasi krisis di Kaltim? Tentu saja tidak, karena sejak 2011 misalnya ada kematian yang tidak bisa dihentikan, totalnya 49 sampai tahun ini. Kemudian jumlah lubang tambang dari data yang dirilis, juga sangat luar biasa. Dari 80 ribu lubang tambang di Indonesia, 44 ribunya ada di Kaltim,” jelasnya.
Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) Dwi Sawung mengungkapkan teknologi CCS/CCUS sangat kompleks dan cenderung mahal. Ia mencontohkan, apabila sebuah PLTU ingin dipasangi CCS/CCUS, ada alat yang harus dibuat secara khusus, dan ruang atau tempat penyimpanan CO2 biasanya akan dialirkan ke pipa atau sumur migas untuk kemudian di simpan di dalam lapisan tanah.
“Kesulitannya, dia harus (disimpan) di lapisan batuan yang stabil selama ratusan atau ribuan tahun karena kita gak ingin tiba-tiba dia bocor, atau (terimbas) gempa bumi. Karena ketika misalnya disimpan di bawah (tanah) terus tiba-tiba (gempa), karbon dalam jumlah yang besar itu keluar, itu akan jadi bencana ekologis yang sangat parah,” papar Sawung.
Ia menambahkan bahwa akan jauh lebih murah apabila pemerintah secara bertahap membangun dan mengembangkan energi terbarukan ketimbang menggunakan teknologi CCS/CCUS.
“Secara karakteristik CCS/CCUS ini desainnya sangat kompleks, dan harus custom sesuai dengan pembangkitnya. Ini yang membuatnya jadi mahal dan sulit ketika operasionalnya misal untuk memisahkan karbonnya dengan unsur yang lain, dan upaya perawatannya juga mahal,” katanya.
Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira mengungkapkan beban seperti biaya operasional dan investasi sebuah PLTU yang menggunakan CCS/CCUS akan jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan pembangkit listrik energi fosil maupun pembangkit listrik energi terbarukan.
“Penambahannya kalau pakai CCUS itu sebesar Rp30,2 juta per kwh, kemudian di 2050 itu diperkirakan akan turun, tapi turunnya cuma Rp22,01 juta per kwh, jadi masih dalam range yang cukup mahal kalau PLTU menggunakan CCUS,” ungkap Bhima.
Bhima juga menjelaskan biaya operasional PLTU yang menggunakan CCS/CCUS diperkirakan akan semakin membengkak karena membutuhkan biaya mitigasi risiko seperti kebocoran dalam penyimpanan karbon di lapisan bawah tanah. Ini perlu mengingat Indonesia dikenal sebagai wilayah yang berada di pusat bencana atau “ring of fire”.
“Artinya, pemilihan CCS/CCUS yang dikatakan transisi energi sebagai solusi, secara keekonomian sudah bisa kita tolak. Kecuali pemerintah ingin menggelontorkan subsidi yang lebih besar, subsidi yang seharusnya ke energi terbarukan, itu justru nanti subsidi dana kompensasinya bisa masuk ke CCS dan CCUS. Itu jadi masalah baru,” jelasnya.
Jika ke depannya pemerintah tetap memaksakan menggunakan teknologi CCS/CCUS, kata Bhima, konsumen diperkirakan akan menanggung beban tarif listrik yang lebih mahal. Ini dikarenakan beban subsidi dan kompensasi energi dari pemerintah yang akan semakin menyempit, karena dialihkan untuk biaya investasi dan operasional dari penerapan teknologi CCS/CCUS.
Bhima juga mengatakan, hasil penelitian menunjukkan penerapan CCS/CCUS merupakan taktik penundaan untuk melanggengkan penggunaan energi fosil dalam berbagai industri yang tidak mau melakukan dekarbonisasi secara benar.
“Jadi temuan pada 2018 bahwa di dalam jangka menengah dan jangka panjang, kehadiran CCS akan meningkatkan konsumsi dari energi fosil, itu bahkan di tahun 2100 bisa sampai ada tambahan 65 persen dari reserve yang digunakan untuk terus menerus melakukan eksploitasi,” katanya.
Dengan begitu, kata Bhima, dunia tidak akan selesai dari penggunaan energi kotor karena akan selalu di cari celah atau jalan tengah dengan menggunakan teknologi CCS dan CCUS. Bhima juga mempertanyakan mengapa pemerintah ingin menerapkan teknologi CCS/CCUS, mengingat teknologi serupa yang diterapkan di negara lain sudah terbukti menimbulkan bencana, seperti yang terjadi di satu desa di Mississippi, Amerika Serikat pada 2020 akibat kebocoran pipa gas CO2. Peristiwa ini menyebabkan 300 orang harus dievakuasi dan 45 di antaranya harus dirawat di rumah sakit. Setelah ditelusuri, kasus ini berkaitan dengan pemanfaatan teknologi CCS/CCUS untuk kebutuhan power plant dan industri.
“Ini dampaknya sudah jelas, kebocoran pipa CO2. Jadi kalau ada yang bilang CCS akan aman, CCS tidak akan merusak lingkungan, tidak akan mencemari udara karena karbonnya bisa disimpan, karbonnya bisa ditransfer dan sebagainya , fakta tidak menunjukkan itu,” jelasnya.
“Sudah jadi beban berat dengan kondisi fosil sekarang ditambah dengan CCS, tentunya ini akan menjadi beban berat bagi masyarakat rentan, perempuan dan juga pekerja yang bekerja di CCS ataupun yang bekerja dalam sektor yang terkait dengan PLTU dan industri pertambangan. Dan pemerintah harus bisa menjawab, apakah risiko ini sudah dimasukkan di dalam kalkulasi untung rugi sebelum memberikan sebuah kerangka hukum regulasi; dan apakah sudah dihitung kalau terjadi kebocoran sampai kemudian menimbulkan korban masyarakat sekitar yang dialiri pipa dari CCS/CCUS?,” pungkasnya.
voa, zid