Jerman Tingkatkan Kekuatan Militernya Bersiap Perang Dunia
Modernisasi angkatan perang Bundeswehr Jerman menjadi misi yang dicanangkan Menteri Pertahanan Boris Pistorius. Tujuannya adalah membentuk angkatan bersenjata yang "siap berperang," kata dia.
Analis keamanan berasumsi, Rusia akan berani menyerang wilayah NATO dalam waktu kurang dari lima tahun. Sejak invasi besar-besaran ke Ukraina, pemerintahan di Moskow sudah mengalihkan kegiatan ekonomi untuk menopang perang jangka panjang.
Saat ini, kapasitas persenjataan Bundeswehr hanya cukup untuk bertahan selama beberapa hari dalam skenario invasi. Pemerintah di Berlin sebabnya kian terdesak untuk menambah kapasitas militer, dan kembali mengadopsi doktrin "deterrence" atau "pencegahan" dini.
Bundeswehr pernah bertugas sebagai benteng NATO melawan ancaman Uni Soviet. Doktrin tersebut banyak ditinggalkan setelah reunifikasi. Kini Jerman kembali mengadopsi doktrin Perang Dingin untuk merespons ancaman Rusia.
Syahdan pada awal tahun 1996, serdadu Jerman untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia II menapaki negara Eropa lain dengan senjata lengkap. Saat itu, militer Jerman Bundeswehr berpartisipasi dalam operasi militer Pakta Pertahanan Atlantik Utara, NATO, di Bosnia-Herzegovina.
Pada tahun 1992, bekas republik Yugoslavia itu terjerumus ke dalam perang paling berdarah di Eropa sejak tahun 1945. Adalah kelompok etnis Srbi di Bosnia yang menggalang perang separatis dengan bantuan pasukan otokrat Serbia Slobodan Milosevic.
Intervensi NATO membantu mengakhiri Perang Balkan pada Desember 1995, ketika pihak yang bertikai menandatangani Perjanjian Perdamaian Dayton.
Uji ketahanan logistik di Bosnia
NATO membentuk "Pasukan Implementasi", IFOR, dan kemudian "Pasukan Stabilisasi", SFOR, untuk mengamankan gencatan senjata di Bosnia, termasuk dengan partisipasi Jerman.
Misi tersebut menandai lebih dari sekedar awal intervensi NATO di Balkan Barat. Pengalaman di Bosnia mengajarkan Bundeswehr, misalnya, untuk menyiapkan operasi di wilayah tertutup, tanpa jalan dan infrastruktur untuk kendaraan lapis baja.
Hingga Perang Balkan, operasi militer "out-of-area" semacam itu tidak termasuk dalam kurikulum militer Jerman. Terlebih, selama Perang Dingin Bundeswehr lebih banyak dilibatkan pada pertahanan, bukan intervensi bersenjata di wilayah asing.
Menatap ke timur
Sejak Perang Dingin, Bundeswehr masih menganut doktrin pertahanan darat yang dikembangkan untuk menghalau serangan Uni Sovyet atau Rusia di perbatasan timur.
Akibatnya, pertahanan terhadap kendaraan lapis baja atau serangan artileri menjadi fokus utama pengembangan dan pengadaan alutsista..
Setiap tahun, manuver NATO menampilkan skenario serangan tank Rusia di dataran rendah di Jerman utara.
Latihan itu diniatkan mengasah kemampuan brigade lapis baja Bundeswehr untuk bertahan terhadap invasi asing, sampai datangnya dukungan militer Amerika Serikat, negara NATO terbesar.
Karena menjaga garis terdepan NATO, tentara Jerman Barat bertambah dari 249.000 personel pada tahun 1958 dan mencapai puncaknya pada tahun 1972 dengan 493.000 personel.
Bundeswehr tetap memiliki kekuatan pasukan sekitar 480.000 sampai runtuhnya Tembok Berlin. Jumlah kekuatan Bundeswehr sempat bertambah setelah reunifikasi, ketika Jerman Barat mengintegrasikan Tentara Rakyat Nasional Jerman Timur, NVA, ke dalam struktur angkatan bersenjata.
Dua dekade setelah berakhirnya Perang Dingin, sekitar 200.000 tentara masih bertugas di pasukan Jerman. Menurut Kementerian Pertahanan Federal di Berlin, Bundeswehr kini memiliki 181.000 personel pada tahun lalu.
Meski demikian, cuma sebagian kecil serdadu yang siap untuk mengawal operasi militer NATO.
Adapun misi di Afganistan pada 2001 memberikan peran baru bagi serdadu Jerman, yakni mengamankan Provinsi Kundus yang relatif aman dari serangan Taliban.
Kini, Bundeswehr mulai membina unit reaksi cepat yang bisa dikerahkan ke berbagai belahan dunia, termasuk wilayah konflik. Gagasannya dicetuskan dalam inisiatif "titik balik" oleh Kanselir Olaf Scholz yang mengawali modernisasi militer Jerman.
dw, zid