Lebih Rp 900 Triliun Arus Modal Mengalir ke Startup AI


Saat ini kita menyaksikan teknologi kecerdasan artifisial (AI) generatif berkembang pesat. Contohnya, model bahasa besar seperti GPT dan Claude yang berkembang pesat sejak 2018. Model ini dapat menghasilkan teks mirip percakapan manusia, hingga AI generatif (GenAI) visual seperti DALL-E dan Midjourney yang mampu menciptakan gambar dari deskripsi teks.


Contoh lainnya termasuk model AI yang dapat menghasilkan musik, kode pemrograman, dan bahkan video pendek.

Perkembangan ini kemudian memicu arus modal yang deras mengalir ke startup AI. Pendanaan modal ventura di Amerika Serikat untuk startup kecerdasan buatan meningkat secara signifikan pada kuartal kedua 2024, mencapai total US$55,6 miliar atau lebih dari Rp905 triliun.

Angka tersebut termasuk $6 miliar (sekitar Rp97,71 triliun) yang dihimpun oleh xAI milik konglomerat Elon Musk dan $1,1 miliar (setara Rp17,91 triliun) yang berhasil dikumpulkan oleh CoreWeave, menandakan peningkatan minat yang kuat dalam sektor AI.

Kendati begitu, banyak usaha GenAI masih dalam tahap awal dengan model bisnis yang masih mencari bentuk. Contohnya termasuk berbagai startup AI yang berfokus pada pembuatan konten otomatis atau asisten virtual masih mencari cara untuk menghasilkan pendapatan yang stabil.

Ini kemudian memunculkan pertanyaan dari para analis di beberapa institusi besar seperti GartnerWall Street, dan Goldman Sachs tentang risiko AI yang menjadi tren dalam gelembung dan kemudian buyar seiring waktu.

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa melihat terlebih dahulu dua tren teknologi sebelumnya, yakni dot-com dan kripto. Keduanya sempat menjadi gelembung karena ekspektasi investor ternyata terlalu tinggi—melebihi aplikasi praktis dan keandalan pada saat itu.

Kelebihan optimisme pasar dot-com

Pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an, dunia menyaksikan satu kejadian penting: gelembung dot-com.

Era ini mencerminkan optimisme pasar yang berlebihan, didorong oleh potensi revolusioner World Wide Web. Alan Greenspan, dengan istilah kegairahan irasional, menggambarkan bagaimana investor—terpesona oleh daya tarik Internet—menanamkan modal besar-besaran pada perusahaan internet yang baru berdiri.

Perusahaan-perusahaan rintisan ini, seringkali tanpa model bisnis yang terbukti atau arus pendapatan yang jelas, dengan mudah mendapatkan akses ke modal, terutama melalui Penawaran Umum Perdana (IPO). Beberapa perusahaan besar yang melakukan IPO menjelang periode gelembung dot-com ini antara lain BlackBerry, Broadcom Corporation, dan Verisign.

Indeks NASDAQ Composite, yang didominasi oleh saham teknologi, meningkat lebih dari 400%. Nilainya mencuat dari di bawah seribu poin pada tahun 1995 menjadi di atas 5 ribu poin pada 2000. Ini menandakan lonjakan minat investor.

Sayangnya, banyak dari perusahaan ini memiliki fondasi bisnis yang lemah dan lebih fokus pada pangsa pasar daripada profitabilitas. Pada tahun 2000, gelembung dot-com meletus.

Kejatuhan sektor dot-com ditandai ketimpangan serius antara valuasi yang melambung dan kesehatan finansial yang sesungguhnya. Indeks Internet Bloomberg AS anjlok dari $2,9 triliun (dengan kurs saat ini setara Rp47.000 triliun) menjadi $1,1 triliun (Rp17.900 triliun), alias terpangkas lebih dari setengahnya.

Kontras mencolok di perusahaan seperti Cisco dan Yahoo! menunjukkan volatilitas investasi teknologi dan risiko overvaluasi. Keduanya mencapai valuasi tinggi saat puncak gelembung dot-com, lalu mengalami penurunan drastis setelahnya.

Cisco berhasil bertahan dan tetap relevan, sementara Yahoo! akhirnya kehilangan dominasi pasar.

Buyarnya gelembung berdampak luas pada ekonomi, termasuk kehilangan pekerjaan secara signifikan, khususnya di sektor telekomunikasi.

Meski diwarnai kekacauan, kejatuhan dot-com membawa manfaat jangka panjang. Pecahnya gelembung ini membuka jalan bagi pemahaman yang lebih realistis tentang potensi bisnis Internet.

Era ini juga menjadi penyaring yang meloloskan perusahaan-perusahan dengan model bisnis berkelanjutan bertahan di industri teknologi. Episode bersejarah tersebut menekankan risiko overvaluasi yang didasarkan pada tren dan menyoroti pentingnya dasar bisnis yang kuat.

Gelembung dot-com juga menjadi pelajaran penting bagi sektor teknologi yang sedang berkembang, seperti GenAI.

Gelembung kripto: aset digital dan demam spekulasi

Gelembung kripto muncul sebagai bentuk alternatif dari gelembung dot-com yang muncul dari demam spekulasi.

Berbeda dari gelembung dot-com, gelembung kripto memiliki karakteristik dan dampak yang berbeda. Gelembung kripto didorong oleh pesona inovatif teknologi blockchain dan mata uang kripto, sehingga mengalami lonjakan investasi spekulatif yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Salah satu pendorong utamanya adalah sindrom ‘fear of missing out’ (FOMO). Investor ramai-ramai terpikat oleh cerita tentang lonjakan nilai mata uang kripto, seperti Bitcoin, yang naik dari sekitar US$900 (Rp14,66 juta) menjadi hampir US$20 ribu (Rp325,87 juta) dalam waktu kurang dari setahun pada 2017.

Mereka yang tergoda oleh janji imbal hasil luar biasa kemudian menanamkan uang dalam berbagai aset digital dan penawaran koin perdana (ICO). Sialnya, banyak investor yang mengabaikan risiko dan naik-turun nilai komoditas ini.

Kendati begitu, struktur pasar kripto dan integrasinya (atau ketiadaannya) dengan sistem keuangan tradisional membuatnya berbeda dari skenario dot-com. Berbeda dengan kehancuran dot-com yang berdampak lebih luas pada ekonomi global, kehancuran kripto lebih berdampak ke aset digital. Sebagian dampak ini terjadi karena adopsi mata uang kripto yang relatif terbatas dalam keuangan arus utama saat gelembung meletus.

Selain itu, lanskap regulasi untuk mata uang kripto penuh dengan ketidakpastian. Tidak seperti sekuritas tradisional yang memiliki kerangka kerja regulasi yang mapan, mata uang kripto berada dalam area abu-abu regulasi di beberapa negara.

Kondisi tersebut menciptakan risiko tambahan bagi investor. Misalnya, ketiadaan regulasi membuat penanganan isu seperti penipuan dan manipulasi pasar menjadi tantangan, hal yang umum di ruang kripto.

Risiko GenAI menggelembung?

GenAI menjadi tren yang mengesankan karena teknologi ini mampu menciptakan konten baru—mulai dari teks, gambar, hingga musik—yang sebelumnya hanya bisa dihasilkan oleh manusia.

Kemampuannya untuk menyederhanakan proses produksi dan memberikan solusi otomatis dalam berbagai bidang membuatnya sangat menarik bagi banyak industri, dari pemasaran hingga seni.

Meski demikian, kualitas dan keandalan GenAI masih terbatas. Model-model AI ini membutuhkan jumlah data yang masif dan kekuatan komputasi yang luar biasa. Hal tersebut membuat skalabilitasnya—kemampuan suatu teknologi menampung penambahan beban—menjadi tantangan besar.

Di samping itu, isu hukum dan etika seperti hak kekayaan intelektual dan bias algoritma juga semakin menonjol. Risiko perlambatan ekonomi global turut membuat investor menjadi lebih berhati-hati, sehingga berdampak langsung pada pendanaan untuk perusahaan rintisan AI.

Seperti halnya dengan gelembung dot-com, tren GenAI saat ini mungkin sedang menuju jalan yang sama. Banyak perusahaan AI masih beroperasi dengan model bisnis yang belum terbukti dan sangat bergantung pada dana investor.

Salah satu contohnya, Microsoft dan Adobe menghadapi kesulitan untuk mendapatkan keuntungan dari AI dikarenakan investasi yang tinggi. Microsoft rata-rata mengalami kerugian US$20 (sekitar Rp326 ribu) per pengguna AI, tapi rata-rata biaya yang dibebankan hanya US$10 (sekitar Rp163 ribu). Ini mengakibatkan para investor agak skeptis dan berhati-hati untuk berinvestasi di pasar AI.

Namun, berbeda dengan era dot-com dan kripto, GenAI telah menunjukkan aplikasi nyata yang signifikan di berbagai sektor, dari kesehatan hingga keuangan.

Kemajuan teknologi AI yang cepat dan adopsi yang beragam di berbagai industri memberikan dasar yang lebih kokoh, berpotensi mengurangi risiko gelembung. Contohnya, JP Morgan, salah satu bank investasi terbesar di dunia, mengembangkan asisten percakapan berbasis GenAI untuk meningkatkan efisiensi analisis data keuangan perusahaan.

Meski demikian, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa GenAI masih dalam fase awal perkembangan. Masih banyak ketidakpastian mengenai kemampuan teknologi ini untuk menghasilkan laba jangka panjang.

Selain itu, regulasi yang semakin ketat dan kekhawatiran lingkungan tentang kebutuhan energi pusat data AI dapat menjadi faktor yang membatasi pertumbuhan sektor ini.

Investor terkenal asal Inggris, Jeremy Grantham, yang memprediksi gelembung dot-com dan krisis keuangan 2008, menyatakan gelembung AI mungkin saja “meletus,” . Namun, dampaknya boleh jadi tidak seburuk gelembung internet.

Andaipun gelembung AI pecah, kata Jeremy, nilai intrinsik teknologi ini kemungkinan akan tetap bertahan karena nilai praktisnya yang luas dan signifikan.

Kunci untuk menghindari gelembung di sektor GenAI terletak pada keseimbangan antara investasi, spekulasi dengan penilaian realistis terhadap kemampuan teknologi saat ini. Peluang aplikasi praktis yang berkelanjutan juga sepatutnya menjadi pertimbangan para investor.

Pasar di sektor AI mungkin dapat terkoreksi, mirip dengan gelembung teknologi masa lalu. Namun, teknologi AI telah memberikan nilai dan kegunaannya. Fondasi perusahaan-perusahaan teknologi masa kini juga lebih kuat dibandingkan dengan di masa gelembung dot-com.

Setelah terkoreksi, AI kemungkinan akan tetap menjadi bagian penting dan integral dari lanskap teknologi. Sektor ini berpeluang terus berkembang dan berintegrasi ke dalam berbagai aspek bisnis dan masyarakat.

Pelajaran dari gelembung dot-com dan kripto menjadi panduan berharga dalam menjelajahi perbatasan baru ini. Karena itu, kita sangat perlu berinvestasi secara bijaksana, memiliki ekspektasi yang realistis, dan berfokus pada pertumbuhan serta aplikasi yang berkelanjutan.

Perusahaan dan investor AI juga perlu memastikan penggunaan yang etis dan tepat, serta menemukan jalur keberlanjutan untuk menjaga tingkat pendapatan. Ini bukan hanya untuk menghindari kerugian finansial, tetapi juga demi mendorong inovasi yang bertanggung jawab dan berkelanjutan di masa depan.


Arif Perdana, Associate Professor in Digital Strategy and Data Science, Monash University

theconversation
Next Post Previous Post