Lima Penyebab Utama Harga Tiket Pesawat di RI Mahal


Ternyata tingginya harga tiket pesawat domestik di Indonesia tak lepas dari "pungutan cukup besar" yang disisipkan pemerintah kepada penumpang.

Sejumlah pengamat penerbangan mengatakan, pungutan-pungutan itu antara lain pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11%, iuran wajib asuransi Jasa Raharja, serta retribusi bandara atau PJP2U.

Termasuk biaya "titipan" dalam harga avtur seperti throughput fee atau pungutan tiap distribusi avtur oleh pengelola bandara, ungkap pengamat.

Belum lagi kalau di pangkalan udara militer seperti Halim Perdana Kusuma atau Juanda, dikenakan "biaya ganda" dari otoritas bandara dan Danlanud, ujar mereka.

Sejumlah pengamat sepakat bahwa harga tiket pesawat domestik lebih mahal daripada harga tiket pesawat ke luar negeri atau internasional.

Jika membedah model bisnis penerbangan, harga tiket pesawat terdiri dari dua komponen, kata pengamat penerbangan Ruth Hana Simatupang dan Alvin Lie.

Pertama, beban biaya yang ditanggung pihak maskapai mulai dari sewa pesawat, pemeliharaan atau perawatan, asuransi, merekrut kru, pelatihan pilot, serta ongkos-ongkos pembelian suku cadang hingga bahan bakar.

Kedua, ada pungutan-pungutan yang disisipkan oleh pemerintah seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11%, iuran wajib asuransi Jasa Raharja, retribusi bandara atau PJP2U, termasuk biaya "titipan" dalam harga avtur seperti throughput fee atau pungutan tiap distribusi avtur oleh pengelola bandara.

Belum lagi kalau di pangkalan udara militer seperti Halim Perdana Kusuma atau Juanda, dikenakan "biaya ganda" dari otoritas bandara dan Danlanud, kata Alvin Lie.

Tetapi, kata Ruth Hana, dari seluruh beban biaya yang ditanggung maskapai, pengeluaran terbesar adalah bahan bakar avtur sebesar 40% hingga 50%. Kemudian perawatan atau pemeliharaan, sewa pesawat, pelatihan pilot serta kru, dan lainnya.

Untuk pesawat terbang, klaimnya, hampir semua maskapai di Indonesia menyewa ke perusahaan seperti Boeing atau Airbus dengan perantara pihak ketiga atau broker yang berada di luar negeri.

Namun, kata dia, harga sewa pesawat untuk perusahaan maskapai di Indonesia "dibuat mahal" dibanding dengan maskapai negara lain karena penilaian mereka terhadap insiden kecelakaan penerbangan disebut cukup tinggi.

"Mereka enggak mau dong barangnya rusak, makanya harga leasing [sewa] untuk Indonesia selalu lebih mahal," ungkap Ruth.

"[Bedanya] cukup signifikan. Makanya maskapai kita enggak bisa bersaing dengan Air Asia yang tiketnya murah-murah."

Namun demikian Alvin Lie mengatakan seluruh beban biaya yang ditanggung maskapai itu sebetulnya hanya 60% atau 70% dari keseluruhan harga tiket yang dibayar penumpang.

Pungutan-pungutan yang disisipkan oleh pemerintah, menurutnya, tak kalah besar. Padahal semestinya bisa dipangkas.

"Contoh harga tiket pesawat ke Yogya Rp800.000 itu nanti akan dipotong Rp170.000 untuk bandara. Tinggal Rp630.000 dipotong PPN 11% dan iuran wajib Jasa Raharja."

"Jadi yang masuk ke maskapai cuma Rp540.000."

"Ini yang harus dilihat, mana yang membuat mahal? Harga tiket atau biaya-biaya di luar tiket?"

Belum lagi harga bahan bakar avtur yang disebut Alvin Lie berbeda.

Untuk penerbangan domestik harga avtur dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) 11% dan 0,25% oleh BPH Migas. Sedangkan penerbangan internasional tidak dikenakan sama sekali.

Segala pungutan tersebut, menurut dia, harusnya bisa ditinjau kembali jika pemerintah ingin menurunkan harga tiket pesawat domestik.

"Banyak yang bisa dibenahi jadi lebih efisien, maka saya harap Pak Luhit benar-benar cermat dan konsisten jangan nanti beralih pikiran menambah beban biaya," ujar Alvin Lie.

Ruth Hana sependapat.

Biaya retribusi bandara yang selalu naik tiap dua tahun, klaim dia, tidak berbanding lurus dengan pelayanan yang diberikan.

Semisal fasilitas garbarata yang jarang digunakan penumpang ketika pesawat mendarat dan pelayanan bagasi yang disebutnya lambat.

Dia mencontohkan di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta yang dinilai menyulitkan.

"Penumpang itu agak malas ke Terminal 3 kalau enggak terpaksa. Karena jalannya jauh banget. Kalau di Hong Kong bandaranya besar, tapi karena semua difasilitasi jadi memudahkan orang untuk bermanuver di bandara," ujar Ruth.

"Di Malaysia dan Singapura, kereta layang bandara ada di dalam bandara. Bukan di luar kayak Soekarno-Hatta, itu yang saya mikir enggak masuk akal."


BBC
Next Post Previous Post