Teori Konspirasi dan Ketidakpercayaan Terhadap Pimpinan Politik di AS
Setelah upaya pembunuhan terhadap Donald Trump, ketakutan akan kekerasan politik tersebar luas di AS.
"Upaya pembunuhan Trump: Peristiwa terburuk yang dapat terjadi di Amerika yang terpolarisasi saat ini, dan diperkirakan akan terjadi lebih banyak kekerasan politik dan ketidakstabilan sosial,” tulis analis politik AS Ian Bremmer di X. Komentarnya menunjukkan bahwa apa yang terjadi terhadap Donald Trump bisa terjadi lagi di Amerika Serikat.
Sebuah studi yang diterbitkan oleh kantor berita Reuters menunjukkan kekhawatiran Bremmer beralasan. Studi pada bulan Agustus 2023 menemukan bahwa Amerika Serikat (AS) berada di tengah-tengah peningkatan kekerasan politik terbesar yang berkelanjutan sejak tahun 1970-an. Menurut penelitian tersebut, serangan akhir-akhir ini ini lebih sering ditujukan terhadap manusia dibandingkan terhadap properti.
Sejak pendukung Trump menyerbu Gedung Capitol pada 6 Januari 2021, pihak berwenang telah mencatat 213 kasus kekerasan politik, menurut laporan Reuters. Dua pertiga dari kasus ini merupakan konfrontasi dengan kekerasan fisik, dan 18 di antaranya berakhir dengan kematian.
Teori konspirasi dan ketidakpercayaan terhadap pimpinan politik
"Penembakan terhadap Trump adalah konsekuensi dari dukungan yang signifikan terhadap kekerasan politik di negara kita," kata ilmuwan politik Robert Pape dari Universitas Chicago kepada surat kabar Inggris, Guardian. "Kita juga perlu khawatir tentang ancaman pembalasan terhadap Presiden Biden."
Penyebab meningkatnya kekerasan terletak pada ketidakpercayaan terhadap pemimpin politik dan kepercayaan pada teori konspirasi, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan sebagai bagian dari proyek "Security and Threats (Keamanan dan Ancaman)".
Survei yang diterbitkan pada bulan Juni 2024 ini mensurvei 2.061 orang di AS. Survei tersebut menemukan 10% responden mengatakan kekerasan dapat dibenarkan untuk mencegah Trump menjadi presiden, sementara 6,9% mengatakan penggunaan kekerasan dapat dibenarkan untuk mengembalikan Trump ke kursi kepresidenan.
Sementara para politisi di AS dan di seluruh dunia mengutuk serangan terhadap Trump, saling serang terus berlanjut di media sosial.
"Hari ini bukan sekadar kejadian yang terisolasi," tulis J.D. Vance, senator Partai Republik dari Ohio yang baru saja dideklarasikan sebagai dan calon wakil presiden Trump. Dia menyalahkan Presiden Joe Biden atas serangan itu.
"Premis utama kampanye Biden adalah bahwa Presiden Donald Trump adalah seorang fasis otoriter yang harus dihentikan dengan cara apa pun. Retorika tersebut mengarah langsung pada percobaan pembunuhan terhadap Presiden Trump," dia menulis di platform X.
Gabby Giffords, aktivis pengawasan kepemilikan senjata dan mantan anggota parlemen yang mengundurkan diri setelah menderita cedera otak parah akibat upaya pembunuhan pada tahun 2011, mencoba memutus gelombang kekerasan dengan postingan-postingan pribadi. "Kekerasan politik bukan karakter Amerika dan tidak pernah bisa diterima – tidak akan pernah,” tulisnya.
Kekerasan politik meningkat sejak 2016
Serangan terhadap Gabby Gifford pada tahun 2011 dipandang sebagai awal pertanda meningkatnya kekerasan politik di Amerika Serikat. Sejak tahun 2016, saat Trump pertama kali mencalonkan diri sebagai presiden, terdapat lebih banyak insiden yang tercatat, menurut Gary LaFree, kriminolog di Universitas Maryland. Dia menyiapkan database terorisme yang melacak kasus-kasus kekerasan politik dari tahun 1970 hingga 2020.
Hal ini termasuk rencana penculikan Gubernur Michigan dari Partai Demokrat, Gretchen Whitmer, yang digagalkan FBI pada Oktober 2020, dan penyerangan terhadap suami Nancy Pelosi Oktober 2022, tak lama sebelum pemilu paruh waktu AS.
Analis politik Ian Bremmer mengatakan, dia "sangat khawatir bahwa diperkirakan akan terjadi lebih banyak kekerasan politik dan ketidakstabilan sosial."
Dia mengatakan lebih lanjut, Amerika Serikat perlu melontarkan kecaman yang tegas terhadap kekerasan politik dari seluruh spektrum politik. Namun, dia juga menambahkan "menduga kuat hal itu tidak akan terjadi."
dw, zid
"Upaya pembunuhan Trump: Peristiwa terburuk yang dapat terjadi di Amerika yang terpolarisasi saat ini, dan diperkirakan akan terjadi lebih banyak kekerasan politik dan ketidakstabilan sosial,” tulis analis politik AS Ian Bremmer di X. Komentarnya menunjukkan bahwa apa yang terjadi terhadap Donald Trump bisa terjadi lagi di Amerika Serikat.
Sebuah studi yang diterbitkan oleh kantor berita Reuters menunjukkan kekhawatiran Bremmer beralasan. Studi pada bulan Agustus 2023 menemukan bahwa Amerika Serikat (AS) berada di tengah-tengah peningkatan kekerasan politik terbesar yang berkelanjutan sejak tahun 1970-an. Menurut penelitian tersebut, serangan akhir-akhir ini ini lebih sering ditujukan terhadap manusia dibandingkan terhadap properti.
Sejak pendukung Trump menyerbu Gedung Capitol pada 6 Januari 2021, pihak berwenang telah mencatat 213 kasus kekerasan politik, menurut laporan Reuters. Dua pertiga dari kasus ini merupakan konfrontasi dengan kekerasan fisik, dan 18 di antaranya berakhir dengan kematian.
Teori konspirasi dan ketidakpercayaan terhadap pimpinan politik
"Penembakan terhadap Trump adalah konsekuensi dari dukungan yang signifikan terhadap kekerasan politik di negara kita," kata ilmuwan politik Robert Pape dari Universitas Chicago kepada surat kabar Inggris, Guardian. "Kita juga perlu khawatir tentang ancaman pembalasan terhadap Presiden Biden."
Penyebab meningkatnya kekerasan terletak pada ketidakpercayaan terhadap pemimpin politik dan kepercayaan pada teori konspirasi, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan sebagai bagian dari proyek "Security and Threats (Keamanan dan Ancaman)".
Survei yang diterbitkan pada bulan Juni 2024 ini mensurvei 2.061 orang di AS. Survei tersebut menemukan 10% responden mengatakan kekerasan dapat dibenarkan untuk mencegah Trump menjadi presiden, sementara 6,9% mengatakan penggunaan kekerasan dapat dibenarkan untuk mengembalikan Trump ke kursi kepresidenan.
Sementara para politisi di AS dan di seluruh dunia mengutuk serangan terhadap Trump, saling serang terus berlanjut di media sosial.
"Hari ini bukan sekadar kejadian yang terisolasi," tulis J.D. Vance, senator Partai Republik dari Ohio yang baru saja dideklarasikan sebagai dan calon wakil presiden Trump. Dia menyalahkan Presiden Joe Biden atas serangan itu.
"Premis utama kampanye Biden adalah bahwa Presiden Donald Trump adalah seorang fasis otoriter yang harus dihentikan dengan cara apa pun. Retorika tersebut mengarah langsung pada percobaan pembunuhan terhadap Presiden Trump," dia menulis di platform X.
Gabby Giffords, aktivis pengawasan kepemilikan senjata dan mantan anggota parlemen yang mengundurkan diri setelah menderita cedera otak parah akibat upaya pembunuhan pada tahun 2011, mencoba memutus gelombang kekerasan dengan postingan-postingan pribadi. "Kekerasan politik bukan karakter Amerika dan tidak pernah bisa diterima – tidak akan pernah,” tulisnya.
Kekerasan politik meningkat sejak 2016
Serangan terhadap Gabby Gifford pada tahun 2011 dipandang sebagai awal pertanda meningkatnya kekerasan politik di Amerika Serikat. Sejak tahun 2016, saat Trump pertama kali mencalonkan diri sebagai presiden, terdapat lebih banyak insiden yang tercatat, menurut Gary LaFree, kriminolog di Universitas Maryland. Dia menyiapkan database terorisme yang melacak kasus-kasus kekerasan politik dari tahun 1970 hingga 2020.
Hal ini termasuk rencana penculikan Gubernur Michigan dari Partai Demokrat, Gretchen Whitmer, yang digagalkan FBI pada Oktober 2020, dan penyerangan terhadap suami Nancy Pelosi Oktober 2022, tak lama sebelum pemilu paruh waktu AS.
Analis politik Ian Bremmer mengatakan, dia "sangat khawatir bahwa diperkirakan akan terjadi lebih banyak kekerasan politik dan ketidakstabilan sosial."
Dia mengatakan lebih lanjut, Amerika Serikat perlu melontarkan kecaman yang tegas terhadap kekerasan politik dari seluruh spektrum politik. Namun, dia juga menambahkan "menduga kuat hal itu tidak akan terjadi."
dw, zid