Ketika Pak Ketum Merasa Harus Memilih Tetap Eksis Atau Binasa


Politikus biasanya akan mengatakan "politik itu dinamis" untuk pembenaran akrobat politik yang sulit dipahami oleh rakyat awam.


Akrobat politik yang tidak senonoh dilakukan tanpa malu-malu di negara demokrasi dengan iklim "politik beracun" terhadap publik, alih-alih memberinya energi positif.

Kita menyaksikan secara real time permainan politik tidak senonoh, yang membuat rakyat kelelahan dan kecewa.

Dengan meningkatnya jumlah warga negara yang krisis kepercayaan kepada partai politik, hasilnya adalah rasa hampa di mana orang tidak lagi tahu ke mana harus merujuk nilai-nilai demokrasi yang vital.

Ketika masyarakat menjadi tidak percaya lagi pada apa yang dulu memberi mereka harapan dan janji, hasilnya adalah bahwa masyarakat merasa hampa. Karena para pelaku politik melakukan praktik-praktik terburuk sambil pada saat yang sama mencari dukungan publik untuk memenangkan pemilu.

Di sisi lain, ketika satu pihak yang mengejar kekuasaan memanfaatkan cara gelap untuk mencapai tujuan mereka, hal itu pasti akan menyebabkan lawan politiknya mengambil tindakan serupa.

Namun begitu, demi kepentingan politik jangka pendek, standar tinggi demokrasi akhirnya dikompromikan dan cita-cita bangsa menjadi ternoda.

Para elit politik memandang hal ini sebagai pilihan: tetap eksis atau binasa.

Salah satu yang paling meresahkan dari fakta demokrasi babak belur ini adalah kepercayaan rakyat yang perlahan-lahan luntur mengikis harapan masa depan, terutama bagi generasi yang baru muncul.

Padahal, demokrasi bekerja paling baik ketika semangat publik dipenuhi dengan optimisme dan perasaan bahwa anak-anak kita akan lebih baik daripada kita.

Negara membutuhkan semangat pencerahan baru jika ingin melalui tantangan ini bersama-sama.

Demokrasi pada akhirnya adalah tentang kemampuan untuk berkolaborasi demi kebaikan yang lebih besar.

Para pemilih akan terus kehilangan kepercayaan pada masa depan mereka jika partai politik dan para pemimpinnya tidak mengubah praktik politik mereka menjadi lebih baik. Sebagai gantinya kita akan mendapatkan jenis revolusi baru, yang didorong oleh sikap apatis.

Warga negara tidak bisa disalahkan karena mereka semakin muak dan apatis pada tatanan politik yang semakin negatif.

Rakyat yang apatis hanya bisa bergerak ke arah bawah sadar, lalu oleh suatu momentum (mungkin) akan meledak dalam kemarahan massal.

Di masa lalu kita menganggap revolusi sebagai periode episodik kemarahan dalam sejarah, di mana cukup banyak kecemasan telah membangun amarah untuk menggulingkan sistem - politik dan ekonomi - untuk membawa perubahan.

Dan kita memahami bahwa di era globalisasi modern juga dapat mengambil arah perubahan dengan jalannya.


Glean Pearsonpernah menjadi co-direktur London Food Bank selama 32 tahun. Dia menulis secara teratur untuk London Free Press dan juga membagikan pandangannya di blog "Parallel Parliament".
Editor: Siti Rahmah
Next Post Previous Post