Ganti Rugi Lahan Rakyat di IKN Hanya Rp 6.715 per Meter Persegi, Kata Ekonom: 'Mirip Pola Kolonialisme'


Secara konsep, kolonialisme ialah penguasaan wilayah oleh negara atas daerah dan/atau oleh bangsa lain guna mengubah wilayah itu. Menurut sejarawan, pengabaian hak warga lokal saat membangun IKN dianggap mereproduksi praktik ini.

Menteri PUPR Basuki Hadimuljono menyatakan pemerintah menyiapkan Rp 140 miliar untuk mengganti rugi 2.086 hektar lahan warga terdampak. Ganti rugi itu disiapkan untuk warga yang lahannya bakal digunakan untuk proyek tol seksi 6a dan 6b dan pengendali banjir Sepaku. Ia menjelaskan, pembayaran ganti rugi ini mengacu pada Perpres Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN.

Pengamat Ekonomi dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menanggapi: Jika dirinci, dengan anggaran Rp 140 miliar untuk 2.086 hektare, harga ganti rugi diperkirakan sebesar Rp 6.715 per meter persegi. Menanggapi hal tersebut, Achmad menilai kebijakan ini tidak berpihak kepada kepentingan dan hak rakyat.

“Katanya Presiden Jokowi merasa IKN adalah ibukota (yang) terbebas dari rasa kolonialisme, namun ternyata bagi masyarakat setempat bisa jadi IKN adalah kolonialisme karena mereka hanya dijadikan objek penderita daripada mendapatkan banyak manfaat,” tutur dia.

Achmad mengatakan, ini menimbulkan kesan bahwa proyek IKN lebih difokuskan untuk kepentingan kelompok elite.

Achmad mengatakan, besaran anggaran ganti rugi ini berpotensi menciptakan ketidakpuasan dan perasaan ketidakadilan di kalangan masyarakat adat dan penduduk sekitar. “Mereka bisa merasa bahwa mereka menjadi korban dari sebuah proyek besar yang seharusnya membawa perubahan positif bagi mereka, tetapi malah menempatkan mereka dalam posisi yang dirugikan,” ujarnya seperti dikutip Tempo..

Berikut ini dilansir dari laporan Deutsche Welle (DW) dan liputan tambahan dari Penajam Paser Utara oleh Prita Kusumaputri dan Levie Mulia Wardana.

Untuk kali pertama, Indonesia merayakan hari ulang tahun kemerdekaan ke-79 di bakal ibu kota baru di Penajam Paser Utara. Sejumlah pejabat negara dan undangan ikut menjadi saksi peristiwa ini.

Di tengah upacara tersebut, tersimpan kekhawatiran Masyarakat Adat Balik yang tinggal tidak jauh dari lokasi Ibu Kota Negara (IKN). Sebelum perayaan HUT kemerdekaan, DW mendatangi perumahan warga Balik dengan jarak tempuh sekitar 7-10 km dari IKN. Mereka telah berulang kali menyuarakan keprihatinan karena merasa kurang dilibatkan, dan malah ikut 'menanggung' dampak pembangunan ibu kota baru tersebut.

Sibukdin, Ketua Adat Balik, membawa DW untuk melihat batang Sungai Sepaku yang mengalir tidak jauh dari kampungnya.

"Ini limbah pada numpuk. Limbah-limbah dari hulu airnya tergenang. Jadi enggak bisa larut karena enggak ada pasang surutnya... Biasanya ini kan ndak ada nampung (sampah) begini. Enggak ada pasang surutnya, air terbendung, jadi sampah pada ngumpul, biasanya ini larut semua terbawa air."

DW melihat air sungai kecoklatan dan seolah dilapisi debu tipis. Menurut Sibukdin, tidak lama sebelumnya warga masih bisa minum langsung dari air sungai tersebut.

Pemerintah punya visi agar nantinya warga IKN bisa langsung meminum air dari keran-keran yang mengalir di rumah dan kantor mereka. Bendungan Sepaku pun dibangun dengan air Sungai Sepaku sebagai air baku bendungan ini.

"Gara-gara ada IKN. Dulu enggak ada IKN kita berani ambil air dari sungai di sini, sekarang enggak berani karena udah banyak limbah. Ini kotoran semua, kayu-kayu busuk tergenang semua mati," ujarnya.

Daerah yang dihuni masyarakat adat Balik termasuk wilayah yang akan menjadi area pembangunan IKN secara luas. Namun, masyarakat adat di sana menolak digusur. Seperti umumnya masyarakat adat, kebayakan warga di sini tidak memiliki sertifikat hak milik atas rumah dan tanah yang sudah mereka tempati durun-temurun dari nenek moyang.

"Adapun kami kalaupun diganti rugi bukan karena keikhlasan tapi karena terpaksa. Kalau kami tidak mau menerima, mungkin berhadapan dengan hukum. Misalnya, dibilang berkas, kami serahkan ke pengadilan, itu tanah proyek tetap berjalan. Itu kan namanya tekanan," kata Sibukdin kepada DW.

Tim DW pun berjalan kembali ke pemukiman dan bertemu salah satu warga perempuan yang aktif di lingkungan setempat. Ada sekitar 70 kepala keluarga yang sudah tinggal turun-temurun di daerah ini. Beberapa rumah tradisional yang terbuat dari kayu ulin juga masih berdiri kokok di tengah rumah-rumah tembok yang baru kemudian dibangun.

Jakia tinggal di daerah itu seumur hidupnya. Ketika ditemui DW, perempuan berusia 48 tahun ini kerap menyapu halaman rumahnya agar bersih dari debu. Ia mengaku sejak dimulainya proyek Pembangunan IKN, debu dan tanah beterbangan tiada henti di sekitaran rumahnya. Jakia pun sering terbatuk-batuk.

"Sepertinya kita ini belum merdeka. Merdeka kan tidak seperti itu. Bukan memilih memilah, bukan hanya untuk orang berpangkat atau berduit yang bisa menyaksikan upacara bendera tapi kami juga ingin mau tahu seperti apa," kata Jakia kepada DW. Sesekali ia menyirami halaman rumahnya dengan air, untuk mengurangi intensitas debu.

"Harapan kami masyarakat adat, khususnya masyarakat adat Balik. Kami mau pemerintah itu mendengarkan apa keinginan kami. Pemerintah mau mendengarkan kaluh kesah kami masyarakat adat. Lahan kami tolong dikembalikan kepada kami."

Pemindahan ibu kota negara ke Nusantara semakin nyata. Meski begitu, proyek ambisius ini terus menuai kritik tajam dari berbagai pihak, terutama terkait dampaknya terhadap warga asli dan masyarakat adat.

Salah satu fokus pembangunan IKN terletak di Istana Garuda, yang memiliki semangat untuk memindahkan "singgasana" Presiden RI dari istana yang dibangun pada masa kolonial di Jakarta, ke lokasi baru yang bebas dari bayang-bayang kolonialisme.

Namun sejarawan menganggap, mengabaikan hak-hak masyarakat lokal tanpa membuka jalur diskusi justru adalah salah satu bentuk kolonialisme.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur menjelaskan, banyak warga adat dan lokal tidak dilibatkan dalam proses pembangunan IKN, termasuk perencanaan hingga negosiasi harga tanah mereka yang dibeli untuk IKN.

"Partisipatif ini kan tentu dari awal gitu ya, merencanakan pembangunan dengan meminta persetujuan masyarakat adat, itu tidak ada. Karena berdasarkan legalitas yang dibilang pemerintah hanya berbasis sertifikat kepemilikan lahan atau tanah, dan karena mereka tidak punya sertifikat jadi dianggap ilegal oleh negara," tandas Ketua Pengurus Harian AMAN Kaltim, Saiduani Nyuk, kepada DW Indonesia.

Alih-alih meninggalkan warisan kolonial, Saiduani mengatakan pembangunan IKN justru menciptakan bentuk baru dari penguasaan tanah dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak memperhatikan hak-hak masyarakat adat.

Ia terutama menyoroti Perpres No.75/2024 tentang percepatan pembangunan Ibu Kota Nusantara yang memberikan hak guna usaha kepada investor atas lahan di IKN hingga 190 tahun, yang di antaranya termasuk tanah masyarakat adat.

"Kalau begitu semacam ilusi yang diciptakan, seolah-olah IKN ini berupaya untuk meninggalkan rezim-rezim kolonialisme. Misalnya kita bicara soal kepemilikan tanah di perubahan undang-undang itu kan 190 tahun, itu justru lebih parah kalau kita melihatnya dari kepemilikan investor setelah mengambil tanah masyarakat," jelas Saiduani.

"Peninggalan Belanda kan misalnya masih 30 sampai 35 tahun. Makanya menurut kami penting bagaimana IKN melihat masyarakat adat ini, termasuk mitigasi dalam memastikan hak masyarakat adat terhadap akses pembangunan, agar tidak dilakukan perampasan hak sepihak oleh pemerintah dalam topeng Proyek Strategis Nasional (PSN)," tambahnya.

Mengenal warisan kolonial, domein verklaring

Sejarawan berpendapat, mengabaikan hak-hak masyarakat lokal tanpa membuka jalur diskusi bisa dianggap sebagai bentuk baru dari kolonialisme.

Secara konsep, kolonialisme adalah penguasaan wilayah oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud mengubah wilayah tersebut menjadi seperti yang diinginkan. Penguasaan tersebut termasuk urusan ekonomi, politik, budaya dan cara hidup masyarakat yang ada di wilayah itu.

"Yang jelas way of life, tradisi, dan sebagainya. Studi-studi kolonial selalu akan melihat bagaimana perubahan yang terjadi di masyarakat jajahan akibat kolonialisme. Selain pengurasan ekonomi politik, sudah pasti kebudayaan juga bermain di situ," jelas Andi Achdian, sejarawan dari Universitas Nasional (UNAS) Jakarta, kepada DW Indonesia.

Menurut Andi, apabila masyarakat lokal tidak dilibatkan dalam urusan yang berkaitan dengan suatu wilayah, bisa dikategorikan sebagai bentuk kolonialisme.

"Sebenarnya kita mereproduksi apa yang dilakukan oleh penguasa kolonial. Dalam arti kita datang dengan satu konsep megah untuk mengubah suatu wilayah tanpa konsultasi dengan orang-orang setempat. Menurut saya praktiknya tidak ada bedanya dengan penguasa kolonial saat itu (masa penjajahan). Pertanyaannya apakah ada ruang konsultasi yang berkelanjutan dengan masyarakat setempat? Tabiatnya kolonial sebenarnya (kalau seperti itu). Ini hanya pindah tempat saja," tegas Andi.

Andi menambahkan, hal terburuk dari kolonialisme saat penjajahan adalah domein verklaring, di mana wilayah-wilayah yang tidak ditempati dianggap sebagai wilayah milik negara. Domein verklaring adalah konsep pada zaman Belanda yang berarti klaim atau pernyataan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya, otomatis adalah tanah negara.

"Sehingga mereka bebas itu tanah-tanah di dataran tinggi, dan gunung-gunung ditanami dengan tanaman-tanaman untuk kepentingan ekspor. Dan perilaku itu sebenarnya direproduksi oleh kita. Jadi klaim bahwa negara punya hak terhadap tanah yang tidak digarap oleh penduduk itu tetap dilanjutkan, dan direproduksi saat ini sama seperti seolah-olah di Kalimantan sana tidak ada orang jadi kita bangun atau klaim saja," tambah Andi.

Menanggapi masalah masyarakat adat yang hidup di sekitar wilayah IKN, Andi berpendapat pemerintah perlu memperhitungkan sejarah masyarakat adat yang tinggal di sana sejak lama.

"Hak adat dianggap hak yang mengada-ada atau lemah dibandingkan dengan hak hukum nasional. Itu sangat kolonial wataknya. Kita mereproduksi konsep domein verklaring bahwa semua lahan atau tempat itu milik negara tanpa melihat bagaimana sejarah dan kedudukan orang-orang yang ada di sana. Cara ini yang saya kira kalau masyarakat adat merasa dipinggirkan ya jelas betul, karena mereka memang tidak dilibatkan," lanjut Andi.

"Jadi secara cultural, legitimasinya lemah, tapi punya legitimasi hukum yang kuat—sudah pasti karena ini dibuat dalam proses teknokratik. Masih ada keraguan untuk mengatakan bahwa kita akan punya sebuah ibu kota baru. Beda dengan saat Soekarnokatakan kita punya suatu ibu kota baru, itu ada sebuah harapan dan imajinasi kolektif bahwa memang penting sebuah ibu kota yang akan dibangun. Namun, waktu itu tidak sempat (pindah ibu kota)," jelas Andi.

Pemerintah diharapkan bisa lebih membuka pintu konsultasi, dan pintu demokratis yang sebesar-besarnya dalam proses pembuatan kebijakan penting khususnya terkait IKN.

Masyarakat adat dianggap penumpang?

Banyak pihak menilai bahwa pembangunan Nusantara tidak mempertimbangkan hak dan keberlangsungan hidup warga asli serta masyarakat adat yang telah mendiami wilayah tersebut selama turun-temurun.

Alih-alih memberikan hak untuk berpartisipasi dalam gemerlap ibu kota baru, salah satu sisi gelap proses pembangunan ini dinilai melibatkan pengalihan lahan besar-besaran tanpa konsultasi memadai dengan komunitas lokal. Padahal, mereka harus meninggalkan tanah hingga akses ke sumber daya alam yang menjadi dasar kehidupan mereka sehari-hari.

Jika demikian cukupkah pengakuan terhadap masyarakat adat dengan membagikan undangan kepada mereka untuk menghadiri upacara perdana 17 Agustus di IKN?

Kepada DW Indonesia, Arman, perwakilan masyarakat adat Balik Sepaku di Kabupaten Penajam Paser Utara, mengaku beberapa perwakilan masyarakat adat termasuk dirinya mendapat undangan untuk hadir pada upacara HUT Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2024 di IKN. Meski begitu ia menegaskan tak akan hadir.

"Aku walaupun dapat, tidak akan hadir juga. Karena kami merasa masih belum merdeka, jauh dari kata merdeka. Kami masih dalam status berjuang untuk menuju kemerdekaan. Sampai saat ini bahkan kita untuk melihat ke dalam (IKN) pun tidak boleh masuk, atau jangan-jangan masyarakat adat ini dianggap sebagai anak pungut kali ya?" ungkapnya.

Arman juga khawatir karena sampai saat ini pemerintah tidak memberikan kepastian kepada masyarakat adat, khususnya soal pembebasan lahan dan partisipasi masyarakat lokal terkait pembangunan IKN. Ia pun mempertanyakan status masyarakat adat di mata pemerintah.

"Seperti di Desa Bumi Harapan itu mereka harus merelakan lahan tempat tinggal mereka, padahal belum mendapat biaya ganti rugi yang dijanjikan. Karena sampai hari ini, tidak ada pengakuan secara signifikan untuk mengakui masyarakat adat di sini khususnya masyarakat adat Balik. Masyarakat adat itu bukan penumpang di negara ini. Jangan perlakukan dia seperti penumpang."


dw, zid

Next Post Previous Post