Tinggalkan Aplikasi Kencan, Para Jomblo Beralih ke Aktivitas Sosial


Para lajang di kota New York telah meninggalkan penggunaan aplikasi kencan dan memilih bersosialisasi secara langsung melalui sejumlah kegiatan seperti klub olahraga, membaca buku bersama, kegiatan amal dan pertemuan para lajang.


Pada awal tahun 2010-an, aplikasi kencan seperti Tinder dan Hinge menjadi cara yang terkenal untuk bertemu dengan calon pasangan, dan meski mereka telah menghasilkan banyak kisah cinta yang sukses, banyak lajang di Kota New York mulai bosan dengan aplikasi tersebut.

“Saya rasa ada kekecewaan terhadap aplikasi kencan secara keseluruhan. Aplikasi itu adalah pilihan, tapi mungkin bukan pilihan yang terbaik,” kata Kathryn Coduto, asisten profesor ilmu media di Boston University dan peneliti kencan.

“Pertemuan langsung, mungkin dalam sebuah kelompok, di mana ada minat yang sama, memungkinkan orang untuk terhubung secara langsung dan melakukan percakapan awal tanpa telepon sebagai perantara,” pungkasnya.

Klub Lari Jadi Ajang Cari Jodoh

Olahraga sambil curi-curi kesempatan cari jodoh. Setiap Rabu sore, sebuah klub lari di Kota New York mempertemukan ratusan orang yang tidak hanya ingin menjaga kebugaran, tapi juga mencari pasangan. Lihat videonya


Kelelahan menggunakan aplikasi kencan yang ditambah dengan isolasi akibat COVID-19 selama beberapa tahun terakhir telah berkontribusi pada tren peningkatan acara sosial secara langsung. Menurut Eventbrite, kegiatan kencan langsung di Amerika Serikat mengalami peningkatan kehadiran sebesar 42% dari tahun 2022 hingga 2023.

Amber Soletti, pendiri perusahaan acara kencan lajang secara langsung, Single and the City, juga melihat tren ini, mencatat bahwa bisnisnya mengalami peningkatan 67% dalam hal jumlah pengunjung dari tahun lalu.

“Orang-orang mengalami kelelahan aplikasi ini, kelelahan swiping,” kata Soletti. “Mereka siap untuk kembali ke acara tatap muka dan menjalin hubungan yang otentik dengan orang-orang di kehidupan nyata.

Tujuan serupa juga dimiliki Lunge Run Club yang sedang viral, sebuah klub lari yang berbasis di Manhattan yang ditargetkan untuk para lajang mencari cinta.

Didirikan awal tahun ini oleh Steve Cole dan Rachael Lansing, klub ini bertemu setiap hari Rabu di Manhattan untuk berlari sejauh lima kilometer yang diikuti dengan minum-minum di sebuah bar. Lunge Run Club dimulai dengan hanya 30 orang dan sejak saat itu menggemparkan kota, menarik ratusan peserta setiap minggunya.

Klub ini mendorong orang-orang untuk mengenakan pakaian hitam jika lajang dan pakaian berwarna jika berpasangan, dengan harapan dapat menghilangkan misteri dan rasa takut dari acara kencan secara langsung.

“Orang-orang selalu menggunakan klub lari atau olahraga rekreasi, seperti itu, sebagai cara untuk bertemu dengan orang lain,” kata Lansing.

“Kami seperti menghilangkan topeng itu, saya akan pergi dan mungkin saya akan bertemu dengan seseorang dan sekarang mungkin memiliki tujuan, ‘saya akan datang. Saya akan mengenakan pakaian serba hitam. Saya mengatakan bahwa saya masih lajang. Saya ingin bertemu antara teman baik atau seseorang yang spesial,” imbuhnya.

Lunge Run Club juga tidak sendiri dalam misinya, tetapi menjadi bagian dari sebuah gerakan orang-orang yang ingin mencari hubungan di salah satu kota terbesar di dunia. Single and the City yang dicetus Soletti menyelenggarakan acara kencan kilat dan pertemuan khusus para lajang yang fokus pada kesamaan minat, hobi, atau bahkan karakteristik fisik seperti tinggi badan.

“Memiliki kesamaan adalah titik awal yang baik untuk sebuah hubungan, dan itu bisa berupa persahabatan, tetapi juga bisa hubungan romantis,” kata Coduto. “Sangat masuk akal jika Anda memiliki kesamaan dengan seseorang, karena ada sesuatu yang bisa dibicarakan,” ujarnya.

Sementara Lunge Run Club dan Single and the City secara khusus dipasarkan sebagai kegiatan kencan, berbagai acara lain lebih difokuskan untuk memfasilitasi komunitas secara umum.

Pada bulan Juni 2023, Ben Bradbury, Tom Worcester, Charlotte Jackson dan John Lifrieri mendirikan Reading Rhytims, “pesta membaca,” di mana orang-orang bertemu di berbagai tempat untuk membaca dan bersosialisasi, membantu orang-orang membangun komunitas, persahabatan, dan bahkan lebih banyak lagi.

Bradbury menjelaskan bagaimana interaksi tatap muka, seperti yang terjadi di Reading Rhythms, dapat memfasilitasi hubungan dengan cara yang tidak selalu dapat direplikasi secara online.

“Hubungan yang otentik, Anda tidak bisa memalsukannya ketika Anda berada di tempat. Itu bisa jadi otentik atau tidak,” kata Bradbury. “Saya pikir orang-orang benar-benar menikmati hal itu, perasaan berkumpul bersama orang-orang, juga mengingat bagaimana rasanya terhubung secara langsung. Saya pikir masyarakat benar-benar menginginkan hal itu sekarang,” tuturnya.

Meski tidak diiklankan sebagai tempat untuk menemukan cinta romantis, Reading Rhythms telah mendapat banyak dukungan dan keterlibatan yang serupa dengan acara Lunge Run Club dan Single and the City, yang telah menyelenggarakan lebih dari 120 pesta dengan 7.500 pembaca yang mencari hubungan langsung ini karena minat yang sama.

“Sulit untuk merasakan energi seseorang ketika Anda hanya melihatnya secara online. Saya rasa dengan adanya media sosial saat ini, dan dengan mengkurasi kehadiran online kami, Anda bisa melihat satu lapisan dari seseorang,” ujar Nikki D'Ambrosio, pembawa acara dan peserta lama Reading Rhythms.

“Yang saya sukai dari Reading Rhythms adalah bahwa acara ini tidak hanya sekadar, 'Hai, nama saya Nikki dan ini buku yang sedang saya baca'. Ini benar-benar lebih dalam,” jelasnya.

Dari berlari hingga membaca, hingga kencan kilat, orang-orang mendambakan hubungan langsung – dan Kota New York memiliki banyak sekali kesempatan yang ditawarkan.


voa, zid
Next Post Previous Post