Di Amerika Serikat Jumlah Masjid Terus Meningkat
Data terkini yang dikeluarkan oleh Institute for Social Policy and Understanding, yaitu organisasi nirlaba yang banyak melakukan penelitian mengenai warga muslim Amerika mengatakan, jumlah masjid di Amerika saat ini mencapai lebih dari 2.700 buah.
Di kota Syracuse negara bagian New York, bangunan gereja yang sempat ditawar untuk dibeli dan diubah menjadi bar, dijual ke komunitas Muslim agar tetap menjadi tempat ibadah. Kini bangunan ini menjadi Masjid Essa-Ibne-Maryam atau Yesus Putra Maryam.
Jumlahnya itu mengalami peningkatan sebanyak 31 persen sejak tahun 2010.
Video: Sebuah Gereja Berubah Menjadi Masjid Yesus Putra Maryam
Apa pun latar belakang agamanya, untuk membangun rumah ibadah termasuk masjid, diperlukan izin zonasi khusus dari pemerintah kota setempat, yang biasanya memiliki aturan yang berbeda di setiap negara bagian di Amerika Serikat. Izin zonasi adalah dokumen yang membolehkan adanya pembangunan gedung baru atau perubahan pada suatu bangunan yang sudah ada.
Organisasi Indonesian Muslim Association in America (IMAAM) yang berdiri sejak tahun 1993 mengelola masjid IMAAM Center yang berlokasi di Silver Spring, Maryland, tak jauh dari ibu kota Amerika Serikat, Washington, D.C.
Masjid yang diresmikan oleh mantan presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono ini beroperasi sejak tahun 2014 di sebuah bangunan yang dulunya sudah memiliki izin zonasi untuk rumah ibadah, namun lalu dijual.
“Jadi kami waktu mengakuisisi, membeli ini, dalam proses itu kami meng-hire badan hukum ya untuk melakukan studi ini. Nah, di studi itu mengatakan, hasilnya, di Amerika itu kalau kami mengatakan ini adalah sebagai rumah ibadah, mereka izinkan," jelas Arif Mustofa, presiden Indonesian Muslim Association in America kepada VOA belum lama ini.
"Entah itu ibadahnya mereka menyembah ke sapi, menyembahnya ke matahari, ke api, as long as itu dikatakan ibadah, itu diizinkan,” tambahnya.
Arif menambahkan bahwa pengalihan izin zonasi rumah ibadah di Amerika Serikat adalah hal yang umum, mengingat perlunya waktu untuk mengubah fungsi zonasi dari suatu bangunan.
Saat ini IMAAM tengah berencana untuk membangun masjid yang ke-2, yang akan dibangun dari awal, dengan konsep dan desain yang menonjolkan Indonesia.
"Ada kubah, lalu interior kaligrafinya," tambah Arif.
Sama halnya dengan IMAAM, organisasi Indonesian American Muslim Community (IAMC) di Sugar Land yang berlokasi sekitar 31 km dari kota Houston di Texas juga tengah membangun masjid secara bertahap.
Organisasi yang berdiri sejak tahun 2012 ini kini mengelola masjid sementara yang diberi nama Istiqlal, yang beroperasi sejak tahun 2015 lalu.
Bangunan sementara itu juga sebelumnya telah memiliki izin zonasi rumah ibadah yang lalu dialihkan menjadi masjid Istiqlal.
Tidak hanya masjid, tetapi IAMC juga memiliki fasilitas lapangan olah raga, taman bermain untuk anak-anak, serta sekolah keagamaan dengan jumlah murid yang melebihi 100 orang, di mana 30 persen di antaranya adalah murid internasional.
Dengan masjid yang lebih besar yang tengah dibangun di komplek yang sama, IAMC bertujuan untuk memfasilitasi lebih banyak kegiatan.
"Kita sudah desain masjid, kurang lebih biayanya sekitar 3 juta dolar AS. Kalau kita mau bangun dari scratch. Tadinya rencana kita adalah mencari uang sampai terkumpul 3 juta dolar (Amerika Serikat), kemudian kita bangun dari nol sampai selesai begitu," ujar Eka Kristanto, Presiden Indonesian American Muslim Community, kepada VOA.
Karena masalah biaya, IAMC lalu mengubah strategi pembangunan masjid ini ke dalam tiga tahapan, dengan konsep yang sangat minimalis.
Kini, mereka sudah berhasil mengumpulkan biaya untuk melakukan pembangunan tahap pertama dan tengah menanti izin pembangunan dari pemerintah daerah setempat.
"Pokoknya kita bisa pakai, kemudian setelah kelihatan gedungnya, kita berharap fundraising akan bisa semakin lancar, sehingga kita bisa mengumpulkan uang untuk tahap kedua, yaitu melengkapi lantai kedua yang untuk sisters, dan kemudian tahap ketiga adalah finishing," tambah Eka.
Aturan Ketat
Tentu saja ada persyaratan lain yang harus diikuti, antara lain desain arsitektur dan konstruksi dari masjid itu sendiri. Pemerintah akan mengecek proporsi tanah tempat bangunan dan tanah di sekitarnya.
"Kemudian berdasarkan itu kita harus membuat kolam resapan air karena di Houston kan tanahnya jelek," tambahnya.
Tidak hanya itu, bangunan tersebut juga harus memiliki lapangan parkir yang sesuai dengan kapasitas gedung, fasilitas bagi jemaah penyandang disabilitas, serta sistim keamanan yang memadai, khususnya dalam menghadapi kebakaran. Salah satunya pengadaan pemancar air di langit-langit gedung.
"Kalau bangunan itu bertingkat mereka ingin ada fasilitas elevator, jadi kalau misalnya ada orang yang disable, yang pakai kursi roda harus bisa ke lantai atas kalau memang salatnya di lantai atas," tambahnya lagi.
Aturan ketat dalam membangun rumah ibadah di Amerika Serikat diakui oleh diaspora Indonesia, Haris Koentjoro, arsitek asal Indonesia di Baltimore, Maryland, Ia dipercaya untuk ikut merancang Masjid Istiqlal dan Masjid IMAAM Center ke-2 yang masih dalam tahap perencanaan.
"Misalkan energy code (aturan energi.red). Jadi dinding ini insulasinya seperti apa? Atap itu insulasinya seperti apa? Ada perhitungan-perhitungan khusus. Misalnya jendela, bukaan itu ada nilainya berapa, sehingga itu ada energy code yang harus kita taati. Dan itu berbeda dari setiap (negara bagian) atau tiap (pemerintah daerah) itu berbeda-beda," jelas Haris Koentjoro saat ditemui oleh VOA.
Desain Masjid yang 'Humble'
Di Amerika Serikat tak jarang terlihat masjid yang berbentuk seperti bangunan gedung biasa tanpa menara atau kubah yang identik dengan masjid-masjid di Indonesia. Menurut Haris, ada perbedaan antara desain dan metode yang diambil dalam membangun masjid di Amerika Serikat dan di Indonesia.
“Masjid itu selalu orang-orang identik dengan kubah. Kalau bagi saya masjid itu harus humble," kata Haris Koentjoro kepada VOA.
"Humble-nya itu artinya dia bisa menyatu ke lingkungan, baik secara natural atau secara komunitas, artinya apa? Kalau sekitar bangunan di situ dari bata gitu ya misalnya, ya kita harus menyesuaikan dengan apa yang ada (di) sekitar. Jangan bikin menara gading. Jangan membuat masjid yang dari emas gitu ya," tambahnya.
Bahan bangunan yang digunakan pun tidak selalu sama. Jika di Indonesia banyak menggunakan beton dan batu bata, di Amerika Serikat bahan bangunan yang digunakan pun cukup beragam, termasuk kayu dan metal.
Bagi Haris, adalah tanggung jawabnya untuk memberikan pengertian dan menyampaikan metode konstruksi yang tepat untuk membangun masjid di Amerika kepada kliennya.
"Bagaimana kita bisa membuat bangunan di Amerika dengan sistim kontruksi di Amerika," kata Haris.
"Bukan berarti murah itu jelek, murah itu bisa bagus. Jadi bagaimana kita membuat bangunan yang lebih ramah lingkungan dalam arti secara lingkungan natural dan lingkungan komunitas," tambahnya lagi.
Walau begitu, para jemaah masih akan dapat melihat dan merasakan nuansa Indonesia pada interior masjid, seperti dalam bentuk kaligrafi, juga pada konsep arsitekturnya.
“Memang dari awal kita ingin seperti itu. Jadi misalnya katakanlah ada beberapa ornament-ornamen, kita bicara tentang ornamen ya, bukan berarti nanti masjidnya harus berbentuk seperti Joglo, gitu kan ya enggak gitu ya, tapi ornamen-ornamen tertentu yang bisa kita masukan ke dalam desain interior kita atau misalkan di eksterior," ujar Haris.
Terkait dengan pembangunan Masjid Istiqlal, Indonesian American Muslim Community berharap bisa menjadikan masjid tersebut sebagai pusat pengenalan pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia.
Organisasi Indonesian Muslim Association in America (IMAAM) yang berdiri sejak tahun 1993 mengelola masjid IMAAM Center yang berlokasi di Silver Spring, Maryland, tak jauh dari ibu kota Amerika Serikat, Washington, D.C.
Masjid yang diresmikan oleh mantan presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono ini beroperasi sejak tahun 2014 di sebuah bangunan yang dulunya sudah memiliki izin zonasi untuk rumah ibadah, namun lalu dijual.
“Jadi kami waktu mengakuisisi, membeli ini, dalam proses itu kami meng-hire badan hukum ya untuk melakukan studi ini. Nah, di studi itu mengatakan, hasilnya, di Amerika itu kalau kami mengatakan ini adalah sebagai rumah ibadah, mereka izinkan," jelas Arif Mustofa, presiden Indonesian Muslim Association in America kepada VOA belum lama ini.
"Entah itu ibadahnya mereka menyembah ke sapi, menyembahnya ke matahari, ke api, as long as itu dikatakan ibadah, itu diizinkan,” tambahnya.
Arif menambahkan bahwa pengalihan izin zonasi rumah ibadah di Amerika Serikat adalah hal yang umum, mengingat perlunya waktu untuk mengubah fungsi zonasi dari suatu bangunan.
Saat ini IMAAM tengah berencana untuk membangun masjid yang ke-2, yang akan dibangun dari awal, dengan konsep dan desain yang menonjolkan Indonesia.
"Ada kubah, lalu interior kaligrafinya," tambah Arif.
Sama halnya dengan IMAAM, organisasi Indonesian American Muslim Community (IAMC) di Sugar Land yang berlokasi sekitar 31 km dari kota Houston di Texas juga tengah membangun masjid secara bertahap.
Organisasi yang berdiri sejak tahun 2012 ini kini mengelola masjid sementara yang diberi nama Istiqlal, yang beroperasi sejak tahun 2015 lalu.
Bangunan sementara itu juga sebelumnya telah memiliki izin zonasi rumah ibadah yang lalu dialihkan menjadi masjid Istiqlal.
Tidak hanya masjid, tetapi IAMC juga memiliki fasilitas lapangan olah raga, taman bermain untuk anak-anak, serta sekolah keagamaan dengan jumlah murid yang melebihi 100 orang, di mana 30 persen di antaranya adalah murid internasional.
Dengan masjid yang lebih besar yang tengah dibangun di komplek yang sama, IAMC bertujuan untuk memfasilitasi lebih banyak kegiatan.
"Kita sudah desain masjid, kurang lebih biayanya sekitar 3 juta dolar AS. Kalau kita mau bangun dari scratch. Tadinya rencana kita adalah mencari uang sampai terkumpul 3 juta dolar (Amerika Serikat), kemudian kita bangun dari nol sampai selesai begitu," ujar Eka Kristanto, Presiden Indonesian American Muslim Community, kepada VOA.
Karena masalah biaya, IAMC lalu mengubah strategi pembangunan masjid ini ke dalam tiga tahapan, dengan konsep yang sangat minimalis.
Kini, mereka sudah berhasil mengumpulkan biaya untuk melakukan pembangunan tahap pertama dan tengah menanti izin pembangunan dari pemerintah daerah setempat.
"Pokoknya kita bisa pakai, kemudian setelah kelihatan gedungnya, kita berharap fundraising akan bisa semakin lancar, sehingga kita bisa mengumpulkan uang untuk tahap kedua, yaitu melengkapi lantai kedua yang untuk sisters, dan kemudian tahap ketiga adalah finishing," tambah Eka.
Aturan Ketat
Tentu saja ada persyaratan lain yang harus diikuti, antara lain desain arsitektur dan konstruksi dari masjid itu sendiri. Pemerintah akan mengecek proporsi tanah tempat bangunan dan tanah di sekitarnya.
"Kemudian berdasarkan itu kita harus membuat kolam resapan air karena di Houston kan tanahnya jelek," tambahnya.
Tidak hanya itu, bangunan tersebut juga harus memiliki lapangan parkir yang sesuai dengan kapasitas gedung, fasilitas bagi jemaah penyandang disabilitas, serta sistim keamanan yang memadai, khususnya dalam menghadapi kebakaran. Salah satunya pengadaan pemancar air di langit-langit gedung.
"Kalau bangunan itu bertingkat mereka ingin ada fasilitas elevator, jadi kalau misalnya ada orang yang disable, yang pakai kursi roda harus bisa ke lantai atas kalau memang salatnya di lantai atas," tambahnya lagi.
Aturan ketat dalam membangun rumah ibadah di Amerika Serikat diakui oleh diaspora Indonesia, Haris Koentjoro, arsitek asal Indonesia di Baltimore, Maryland, Ia dipercaya untuk ikut merancang Masjid Istiqlal dan Masjid IMAAM Center ke-2 yang masih dalam tahap perencanaan.
"Misalkan energy code (aturan energi.red). Jadi dinding ini insulasinya seperti apa? Atap itu insulasinya seperti apa? Ada perhitungan-perhitungan khusus. Misalnya jendela, bukaan itu ada nilainya berapa, sehingga itu ada energy code yang harus kita taati. Dan itu berbeda dari setiap (negara bagian) atau tiap (pemerintah daerah) itu berbeda-beda," jelas Haris Koentjoro saat ditemui oleh VOA.
Desain Masjid yang 'Humble'
Di Amerika Serikat tak jarang terlihat masjid yang berbentuk seperti bangunan gedung biasa tanpa menara atau kubah yang identik dengan masjid-masjid di Indonesia. Menurut Haris, ada perbedaan antara desain dan metode yang diambil dalam membangun masjid di Amerika Serikat dan di Indonesia.
“Masjid itu selalu orang-orang identik dengan kubah. Kalau bagi saya masjid itu harus humble," kata Haris Koentjoro kepada VOA.
"Humble-nya itu artinya dia bisa menyatu ke lingkungan, baik secara natural atau secara komunitas, artinya apa? Kalau sekitar bangunan di situ dari bata gitu ya misalnya, ya kita harus menyesuaikan dengan apa yang ada (di) sekitar. Jangan bikin menara gading. Jangan membuat masjid yang dari emas gitu ya," tambahnya.
Bahan bangunan yang digunakan pun tidak selalu sama. Jika di Indonesia banyak menggunakan beton dan batu bata, di Amerika Serikat bahan bangunan yang digunakan pun cukup beragam, termasuk kayu dan metal.
Bagi Haris, adalah tanggung jawabnya untuk memberikan pengertian dan menyampaikan metode konstruksi yang tepat untuk membangun masjid di Amerika kepada kliennya.
"Bagaimana kita bisa membuat bangunan di Amerika dengan sistim kontruksi di Amerika," kata Haris.
"Bukan berarti murah itu jelek, murah itu bisa bagus. Jadi bagaimana kita membuat bangunan yang lebih ramah lingkungan dalam arti secara lingkungan natural dan lingkungan komunitas," tambahnya lagi.
Walau begitu, para jemaah masih akan dapat melihat dan merasakan nuansa Indonesia pada interior masjid, seperti dalam bentuk kaligrafi, juga pada konsep arsitekturnya.
“Memang dari awal kita ingin seperti itu. Jadi misalnya katakanlah ada beberapa ornament-ornamen, kita bicara tentang ornamen ya, bukan berarti nanti masjidnya harus berbentuk seperti Joglo, gitu kan ya enggak gitu ya, tapi ornamen-ornamen tertentu yang bisa kita masukan ke dalam desain interior kita atau misalkan di eksterior," ujar Haris.
Terkait dengan pembangunan Masjid Istiqlal, Indonesian American Muslim Community berharap bisa menjadikan masjid tersebut sebagai pusat pengenalan pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia.
voa