Ekonom Mengulas Rencana Kabinet Gemoy 44 Menteri Besutan Prabowo
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira menanggapi kabar yang santer beredar bahwa kabinet Prabowo akan diisi oleh 44 menteri.
Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menilai kabinet gemuk pimpinan presiden terpilih Prabowo Subianto pada periode mendatang akan membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan memperumit birokrasi.
“Menambah kementerian itu kan, artinya menambah belanja pegawai dan belanja barang,” kata Bhima. Ia menyinggung belanja pegawai dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2025 yang tercatat meningkat. “Beban fiskal untuk belanja lembaga sudah sangat berat.”
Berdasarkan Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2025, pemerintah mengalokasikan total Rp 513,22 triliun untuk belanja pegawai kementerian/lembaga. Jumlah tersebut meningkat 11,36 persen dibandingkan total belanja pegawai senilai Rp 460,86 triliun pada 2024. Sementara itu, belanja barang direncanakan dengan jumlah Rp 342,6 triliun, turun 27,50 persen dari outlook tahun ini sebesar Rp436,8 triliun.
Bhima lantas mempertanyakan tujuan rencana Prabowo menambah kementerian dan badan baru di masa kepemimpinannya nanti. Menurut ekonom itu, program-program yang ingin dijalankan dapat bergerak di bawah kementerian dan lembaga yang sudah ada. Misal, program makanan bergizi gratis bisa dijalankan oleh Kementerian Pertanian atau Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas).
Kabinet gemuk, katanya, juga bakal mempersulit koordinasi dan proses birokrasi. Ia menambahkan masyarakat juga perlu berhati-hati akan rencana Prabowo memecah Kementerian Keuangan dan Badan Penerimaan Negara (BPN), yang akan dibentuk untuk mengurusi penerimaan negara dari pajak, bea cukai dan nonpajak.
“Itu juga bukan mempersingkat birokrasi, justru makin memperumit karena pendapatan dan belanja ini kan jadi satu hal yang sangat tidak terpisahkan,” ujarnya.
Bhima berpendapat jika kondisi ekonomi negara sedang kurang bagus, maka seharusnya APBN mampu menstimulus perekonomian lewat bentuk insentif atau subsidi, bukan justru digunakan untuk belanja badan baru. Pasalnya, negara sedang menghadapi berbagai masalah ekonomi mulai dari rasio pajak rendah hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Prabowo sempat menyatakan optimismenya bisa menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8 persen. “Ini (penambahan kementerian atau badan) justru akan menghambat pencapaian pertumbuhan ekonomi Prabowo yang ambisius sampai lima tahun ke depan,” kata Bhima.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sekarang stagnan berkisar pada angka 5 persen, berdasarkan data Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Rasio pajak negara dari 1972-2023 cenderung menurun dan rendah, terakhir pada angka 10 persen pada 2023, menurut data Kementerian Keuangan. Pajak penerimaan negara pun hanya 10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dengan target hanya tercapai pada 2021, 2022, dan 2023.
Rasio utang terhadap PDB sekitar 38 persen tahun ini, menurut data Kementerian Keuangan, dengan kenaikan tiga kali lipat di masa pemerintahan Presiden Jokowi.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti pun menilai investasi sedang tidak ramah pada penciptaan lapangan pekerjaan. Esther mengatakan hal itu dalam diskusi publik bertajuk “Moneter dan Fiskal Ketat, Daya Beli Melarat” pada 12 September 2024.
tempo, zaman