Masjid Agung Indah yang Dibangun dari Lumpur dan Direnovasi Setahun Sekali

Masjid Agung Indah yang Dibangun dari Lumpur dan Direnovasi Setahun Sekali

Terletak di pedalaman gersang Gurun Sahara yang panas di Mali selatan, Masjid Agung Djenné memiliki struktur bangunan yang memikat dan langsung memicu imajinasi.


Dengan tinggi hampir 20 meter dan dibangun di atas lahan sepanjang 91 meter, bangunan itu adalah bangunan berbahan baku lumpur terbesar di dunia dan contoh terbaik arsitektur Sudano-Sahel, gaya bangunan di wilayah setempat yang memiliki ciri khas plesteran batako dan perancah kayu.

Masjid raksasa itu tanpa diragukan lagi menjadi pusat kehidupan kota Djenné yang dilindungi oleh Unesco. Berikut ini liputan Peter Yeung BBC Travel.


Pengaruh Islam yang turun temurun

Bertengger di dataran antara sungai Niger dan Bani, Djenné telah dihuni sejak tahun 250 SM, menjadikannya salah satu kota tertua di kawasan sub-Sahara Afrika.

Kota ini berkembang antara abad ke-13 dan ke-18 sebagai pusat transportasi utama untuk komoditas seperti garam dan emas.

Kafilah dagang juga membawa cendekiawan dan penulis, yang memperkenalkan Islam ke wilayah tersebut.

Tidak butuh waktu lama bagi Djenné untuk menjadi pusat cendekia Islam, dengan bangunan Masjid Agung saat ini yang dibangun pada tahun 1907 di situs asli masjid komunitas tersebut, yang hancur pada abad ke-19.

Pengaruh Islam tampak jelas kini, dengan santri-santri yang kerap mengkaji Quran di jalan-jalan Djenné.
 
Masjid Agung memiliki tiga menara yang khas, dengan ratusan batang pohon palem, yang dikenal sebagai 'toron', menonjol keluar dari dinding bangunan.

Ruang sholat masjid dapat memuat 3.000 orang.


Setelah mengunjungi tempat ini pada awal 1900-an, dengan penuh semangat, jurnalis Perancis Félix Dubois menggambarkan masjid itu sebagai 'persilangan antara (bentuk) landak dan organ.

Masjid Agung tetap sejuk bahkan selama hari-hari terpanas. Sebuah kisi dari 90 kolom kayu menopang atap dan dinding, yang menginsulasi sengat panas matahari.

Atapnya, sementara itu, memiliki beberapa bukaan yang memungkinkan aliran udara segar masuk saat musim kemarau, tetapi dapat ditutup dengan penutup terakota selama musim hujan.
 

Perbaikan tahunan yang epik

Dinding Masjid Agung Djenné direkonstruksi menggunakan lumpur setiap bulan April dalam acara yang digelar selama satu hari yang epik, yang disebut Crépissage (memasang plester).

Struktur bangunannya membutuhkan penguatan setiap tahunnya - demikian juga rumah tradisional lain - sebelum musim hujan Mali yang singkat namun brutal tiba, yang sebagian besar terjadi pada bulan Juli dan Agustus, ketika hampir seluruh curah hujan tahunan rata-rata 1.000 mm akan turun.

Usaha luar biasa ini memastikan bahwa masjid akan selamat dari musim hujan, meskipun bentuknya sedikit berubah setiap tahun.
 

The Waking Night alias Malam ketika warga berpesta

Crépissage tidak hanya merupakan ritual pemeliharaan penting bangunan yang dirancang untuk melindungi dinding masjid dari keretakan dan keruntuhan, tetapi juga merupakan festival yang merayakan komunitas, keyakinan, dan warisan Djenné.

Malam sebelum hari perbaikan bangunan, seantero desa diramaikan obrolan menyambut hari spesial itu di mana penduduk setempat pun ambil bagian dalam karnaval yang dikenal sebagai La Nuit de Veille, atau The Waking Night.

Jalan-jalan Djenné yang diterangi cahaya bulan berdering dengan nyanyian dan ketukan drum sebelum peluit ditiup sekitar pukul 04:00 untuk menandakan awal dari acara yang paling penting.
 

Lomba warga

Ketika Crépissage berlangsung, kelompok dari setiap dusun di Djenné berlomba untuk memplester ulang masjid, dengan kehati-hatian dan ketelitian.

Di bawah pengawasan serikat kerja yang terdiri dari 80 tukang batu senior - profesi yang sangat dihormati di Djenné - para pemuda memenuhi muka bangunan sambil membawa keranjang anyaman yang dipenuhi tanah liat basah untuk ditempelkan tebal-tebal ke dinding masjid, merambati dinding menggunakan toron layaknya anak tangga.

Masing-masing kelompok bersaing satu sama lain untuk menyelesaikan bagian mereka terlebih dahulu. Menang adalah hal yang sangat membanggakan bagi para peserta, yang juga akan menerima hadiah uang sebesar 50.000 franc CFA Afrika Barat, atau sekitar Rp1,1 juta, jumlah uang yang signifikan di kota di mana banyak orang berpenghasilan kurang dari £ 1, atau sekitar Rp17.500 sehari.
 

Tubuh berlumpur

Seluruh masyarakat berkontribusi dalam perayaan ini, di mana masing-masing kelompok melakukan tugas yang berbeda-beda.

Selain pekerjaan utama merenovasi masjid, para pria ditugaskan untuk mempersiapkan material konstruksi yang disebut banco, yaitu campuran tanah liat dari sungai terdekat, dedak, minyak kacang, bubuk baobab dan air.

Mereka berlarian ke sana kemari, menaruh seonggok besar banco ke dalam keranjang anyaman dan berlari ke masjid.

Tak lama, massa yang menggeliat di antara banco menjadi sulit untuk diuraikan dari lumpur itu sendiri.
 

Hari yang sibuk tapi menyenangkan

Crépissage adalah satu hari dalam setahun di mana perempuan diizinkan memasuki masjid, bertugas membawa air dari sungai sebagai bahan campuran banco.

Anak-anak juga berpartisipasi dengan membawa keranjang lumpur untuk membantu para tukang batu, tetapi banyak yang hanya bermain-main.

Sekitar lima jam setelah proses dimulai, matahari pagi menyinari masjid yang baru diplester, yang biasanya selesai pada pukul 09:00.
 

Warisan hidup Mali

Menurut Unesco, karakter Djenné 'ditandai oleh arsitektur yang luar biasa dan struktur perkotaannya, harmoni yang langka', dan Masjid Agung menunjukkan hal ini.

Terlepas dari sejarahnya selama berabad-abad, masjid ini tetap menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat modern.

"Masjid Djenné adalah simbol kohesi sosial setiap tahun, partisipasi komunal dalam pekerjaan pemeliharaan menunjukkan rasa kebersamaan dan ekspresi bagaimana cara hidup bersama," kata Balassin Yaro, wali kota Djenné.
 
Hak atas foto PETER YEUNG & PAUL DE ROOS
 
BBC.
ZIDWORLD © 2024 Designed By JoomShaper

Please publish modules in offcanvas position.

{{ message }}