Sejumlah tokoh Tionghoa merasa tak nyaman atas pernyataan Hary Tanoesoedibjo - Ketua Umum Partai Perindo - yang mengatakan bahwa Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) akan mendukung calon presiden pilihan Presiden Jokowi.
Seorang pengamat antropologi mengatakan pernyataan Hary Tanoe itu tidak bisa mewakili masyarakat Tionghoa yang disebutnya beragam preferensi politiknya.
Pengamat antropologi, Johanes Herlijanto, mengatakan "Karena orang Tionghoa sendiri kan dinamis, bercampur,” kata Johanes kepada BBC Indonesia (17/5).
Dia menjelaskan, sebagian besar warga Tionghoa cenderung memilih sosok pemimpin yang disebutnya dapat mengakomodir keberadaan warga etnis Tionghoa secara terbuka dan inklusif.
“Jadi yang saya lihat, mereka ingin politisi-politisi yang bisa membuka ruang yang menerima orang-orang Tionghoa. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang utuh,” katanya.
Saat bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (15/05), Hary Tanoesoedibjo - selaku Dewan Kehormatan Senior PSMTI - mengatakan bahwa organisasi sosial yang menghimpun etnis Tionghoa itu mendukung pilihan calon presiden (capres) Jokowi.
Menjelang Pilpres 2024, katanya, mereka akan mendukung keputusan Jokowi tentang capres di Pilpres 2024.
"Dan PSMTI juga menegaskan ingin sekali siapa pun nanti yang didukung oleh Pak Jokowi tentunya akan didukung juga oleh PSMTI.
"Intinya PSMTI menengaskan perlunya ada keberlanjutan, kontinuitas atas apa yang sudah dicapai oleh beliau," kata Hary kepada para wartawan, Senin (15/05).
Ia menjelaskan bahwa PSMTI ingin ada keberlanjutan pembangunan setelah era Jokowi.
Mereka ingin presiden berikutnya meneruskan pembangunan di bidang ekonomi dan politik, tambah Hary.
Meski begitu, Wakil Sekretaris Umum PSMTI, Ardi Susanto, membantah perkataan Hary Tanoe dan mengatakan pernyataannya itu tidak merepresentasikan pandangan PSMTI sebagai organisasi.
"Prinsipnya kita menentang segala bentuk eksploitasi politisasi identitas. Jadi kalau hal itu mengarah ke sana, ya tentu kita sangat tidak sepakat.
"Tidak sepakat dengan pendapat itu. Tetapi apakah itu betul-betul pendapat, Pak Hary Tanoe saya enggak mendengarkan jadi saya kurang tahu," ujar Ardi.
"Saya tidak pernah memberikan kuasa kepada dia untuk mewakili saya“
Ketua Dewan Penasehat Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, Jusuf Hamka mengkritik pernyataan Hary Tanoe yang mengeklaim bahwa PSMTI mendukung capres pilihan Jokowi.
“Kalau memang benar yang dikatakan Hary Tanoe, saya orang Tionghoa, saya tidak pernah mengatakan begitu dan tidak pernah memberikan kuasa kepada dia untuk mewakili saya,“ kata Jusuf kepada BBC indonesia.
Menurut Jusuf, pernyataan itu bisa menjadi bumerang bagi masyarakat etnis Tionghoa ke depannya.
Sebab, seringkali jika calon pemimpin yang dipilih membuat kesalahan selama rezimnya, maka masyarakat akan dengan cepat menyalahkan masyarakat Tionghoa yang dianggap mendukungnya saat Pemilu.
“Nanti misalnya zaman berubah, rezim berubah. Orang akan meminta pertanggung jawaban. "Eh orang Tionghoa, kenapa lu dulu dukung seseorang", kan enggak boleh begini.
“Orang Tionghoa itu tidak boleh eksklusif lagi. Dia harus membaur di mana-mana. Dia harus ada di mana-mana. Enggak boleh mendukung satu pihak, apalagi declare,” jelas Jusuf.
Ia mengambil contoh organisasi masyarakat Tionghoa-Indonesia Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) yang pada 1960-an menyatakan keberpihakan mereka pada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Akibatnya, banyak warga etnis-Tionghoa yang dicap sebagai pendukung komunis. Meskipun tak semuanya sependapat dengan Baperki, katanya.
“Waktu PKI itu ada keributan dengan pemerintah, Baperki jadi masalah dan orang Tionghoa pun banyak yang ditangkep-tangkep yang enggak tahu apa-apa,” katanya.
Antropolog sekaligus salah satu anggota Dewan Forum Sinologi Indonesia, Johanes Herlijanto, mengatakan bahwa publik non-Tionghoa pada umumnya memiliki kecenderungan untuk mengeneralisir preferensi politik warga etnis Tionghoa.
Ini disebutnya sudah terjadi sejak masa Orde Lama.
“Orang non-Tionghoa membuat suatu generalisasi. Buktinya, banyak orang Tionghoa yang non-Baperki. Tionghoa yang berbeda pandangan Baperki juga banyak.
“Jadi memang Tionghoa selalu beragam. Tidak bisa dilihat bahwa ini satu kelompok yang selalu satu pandangannya,” kata Johanes.
'Sikap politik warga Tionghoa tidak ada yang seragam'
Johanes Herlijanto menjelaskan saat ini partisipasi warga etnis Tionghoa di dunia politik sudah semakin baik dan beragam.
Hal ini terbukti dengan keberadaan anggota-anggota beretnis Tionghoa di sebagian besar partai-partai politik, mulai dari Golkar, PPP, Nasdem hingga PDIP.
“Saya yakin tidak terjadi satu sikap politik yang seragam, dalam kelompok masyarakat Tionghoa di Indonesia. Ini dinamis dari sikap politiknya bisa beragam bisa macam-macam,” tambahnya.
Meski begitu, ia mengatakan sampai saat ini belum pernah dilakukan survei yang mampu menganalisa preferensi politik warga etnis Tionghoa di Indonesia secara lengkap.
Lagipula, tambahnya, sampai sekarang masih menjadi perdebatan tentang berapa jumlah warga etnis Tionghoa di Indonesia.
“Jadi untuk nationwide itu susah, yang nationwide random ya. Tapi yang bisa kita lakukan itu coba melihat anggota-anggota organisasi. Tapi kalau saya melakukan satu survei kepada anggota-anggota PSMTI saja, akan dikatakan bias,” ungkapnya.
Selain itu, menurut Johanes, selama ini PSMTI selalu menyatakan dirinya sebagai paguyuban sosial. Artinya, mereka tidak pernah melakukan kegiatan yang bersifat politik praktis ataupun memberi dukungan kepada pihak manapun.
“Karena dia tidak berani atau khawatir atau tidak mau dilihat sebagai sebuah organisasi politik. Jadi memang dari awal betul-betul menyatakan dirinya sebagai sebuah organisasi sosial dengan harapan, ya di dalamnya tidak berpolitik,” katanya.
PSMTI sebut pernyataan Hary Tanoesoedibjo hanya ”pendapat pribadi“
Wakil Sekretaris Umum PSMTI, Ardi Susanto, mengatakan bahwa ia menilai pernyataan Hary Tanoesoedibjo merupakan pendapat pribadi dan tidak merepresentasikan posisi resmi dari paguyuban tersebut.
“Prinsipnya kita menentang segala bentuk eksploitasi politisasi identitas. Jadi kalau hal itu mengarah ke sana, ya tentu kita sangat tidak sepakat. Tidak sepakat dengan pendapat itu. Tetapi apakah itu betul-betul pendapat Pak Hary Tanoe,” kata Ardi kepada BBC Indonesia pada Rabu (17/5).
Ia menekankan bahwa PSMTI tetap merupakan organisasi sosial, bukan politik.
Sehingga, pernyataan yang memberi dukungan kepada seorang calon seperti itu bukanlah merupakan bagian dari tujuan mereka sebagai organisasi.
“PSMTI itu tidak berpolitik praktis seperti itu. Sampai sekarang PSMTI tidak. Karena PSMTI itu isinya beragam, ada dari PKB, ada dari Demokrat, ada dari berbagai macam partai ada di dalam PSMTI sehingga tidak mungkin PSMTI memilih untuk menjadi bagian dari para partisannya,“ ungkap Ardi yang juga menjabat sebagai Ketua Umum DPP Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI).
Ardi mengatakan bahwa tujuan dari pertemuan antara PSMTI dan Presiden Jokowi di Istana, Senin (17/05), adalah untuk memuji pencapaian pembangunan selama masa pemerintahan Jokowi, dan meminta petunjuk dari Presiden mengenai peran mereka dalam meneruskan perkembangna tersebut.
"Ketua PSMTI mengatakan bahwa pembangunan di Pak Jokowi ini bagus banget, terus inflasi juga sangat terkendali walaupun kita kena badai Covid. Terus kita juga, sebentar lagi Pak Jokowi sudah selesai. Kalau bisa ada petunjuk-petunjuk dari Pak Jokowi, kita perlu Pak dikasih tahu,” kata Ardi.
Lebih lanjut, Ardi menjelaskan bahwa memang PSMTI merupakan organisasi Tionghoa-Indonesia pertama yang dicetuskan sejak era Reformasi dan saat ini sudah meluas hingga memiliki perwakilan hampir seluruh Indonesia.
Namun, hal itu tidak berarti mereka bisa mewakili seluruh aspirasi ataupun pilihan politik dari segenap masyarakat keturunan Tionghoa-Indonesia.
“Masyarakat kita kan punya logika berpikir masing-masing dan kita juga punya logika. Masing-masing punya hak untuk menyampaikan suaranya jadi bagaimana bisa hak memilih seorang pemimpin diwakilkan kepada satu orang atau satu organisasi,” tegas Ardi.
'Etnis Tionghoa tidak selalu berpihak pada sesama etnis'
Pengamat antropologi, Johanes Herlijanto, mengatakan bahwa rata-rata warga etnis Tionghoa di Indonesia justru tidak memandang ras dalam menentukan pilihan politik.
Berkaca dari Pemilu 2014 dan 2019, ia mengatakan bahwa banyak dari masyarakat etnis Tionghoa yang mendukung Jokowi dari Partai PDIP, bukan Prabowo yang berasal dari Partai Gerindra.
Padahal sebelumnya, mantan Gubernur DKI Jakarta,Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok -yang beretnis Tionghoa- merupakan politisi dari Gerindra.
“Ketika [Pemilu] 2019, Tionghoa justru berada di belakang Jokowi. Itu dalam pandangan saya suatu hal yang menarik. 2019 itu sangat mudah untuk dijelaskan, dalam pandangan saya, seperti ada kelanjutan dari kontestasi 2014-2017 di Pilkada DKI,“ ujar Johanes.
Ia menyebut bubarnya partai naungan etnis Tionghoa setelah era reformasi Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI) akibat kekurangan suara, merupakan bukti bahwa warga etnis Tionghoa tidak selalu berpihak pada sesama etnis.
“Partai Tionghoa, partai Bhineka Tunggal Ika itu juga enggak bisa banyak dapat suara. Karena banyak Tionghoa yang justru tidak ke situ juga. Artinya memang sebetulnya, orang Tionghoa benar-benar beragam,“ kata Johanes.
Menurut dia, dari segi ideologi, masyarakat keturunan Tionghoa secara umum sebetulnya sedikit khawatir dengan siapapun politisi yang kemudian menggaung-gaungkan isu etnisitas. Sebab, mereka tidak menyukai adanya perlakuan berbeda karena etnis.
“Impian mereka kan sebetulnya satu diperlakukan betul-betul setara, sebagai bagian dari Indonesia yang utuh. Tidak lagi dipermasalahkan ketionghoa-annya dan sebagainya.
“Itu salah satu impian teman-teman Tionghoa dan diberi ruang yang sama untuk kemudian ikut berpartisipasi dalam politik di negeri ini,“ jelasnya.
Oleh karena itu, Johanes mengatakan seharusnya para politisi menjelang Pilpres berhenti berusaha menarik suara bulat dari warga etnis dengan alih-alih politik identitas. Kenyataannya, mereka dari dulu sampai sekarang sangat beragam.
“Karena dalam pandangan saya politik itu, sebaiknya tidak di-etnisitasi. Tidak bisa kita katakan satu kelompok etnis akan memiliki sebuah pilihan politik yang seragam.”
- Data Continuum: Penilaian Negatif Warganet Terhadap Akrobat Copras-Capres ala Jokowi
- Ini Daftar Tugas Bawaslu yang Seharusnya Dilaksanakan Sesuai UU
- Interupsi, Nama Saya Mas Pithecanthropus 'Orang Jawa Asli'