Sebby Sambom, juru bicara TPNPB, sayap bersenjata Gerakan Papua Merdeka, mengatakan kepada Reuters, aktivitas kelompok itu secara tidak sengaja didanai oleh negara.
Frekuensi pemberontakan mengalami peningkatan akhir-akhir ini sejalan dengan lonjakan penjualan senjata ilegal di wilayah itu, menurut sejumlah pengacara dan dokumen pengadilan. Dan yang menjadi catatan, Dana Desa ternyata menjadi sumber pendapatan utama bagi wilayah paling timur di Tanah Air itu.
Di Nduga, di mana pilot Susi Air Phillip Mehrtens disandera selama lebih dari tiga bulan, aparat kepolisian sangat prihatin karena Dana Desa digunakan untuk membeli senjata. Untuk itu, mereka meminta pemerintah pusat menahan dana yang dialokasikan ke wilayah tersebut pada tahun ini.
“Kalau ini tidak kita blokir, maka Dana Desa akan mengalir ke desa dan mereka (pemberontak) mungkin akan terus meminta dukungan. Mungkin untuk membeli senjata, untuk membeli makanan,” kata Kabid Humas Polda Papua Ignatius Benny Ady kepada Reuters.
Juru bicara Pemerintah Kabupaten Nduga, Otomi Djiwage, mengatakan Dana Desa "tidak didukung dengan pengawasan yang tepat" dan pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengawasinya.
“Jadi wajar jika penggunaan Dana Desa agak longgar dan siapa saja bisa melakukan apa saja dengan itu.”
Dia tidak mengomentari klaim dana yang digunakan oleh pemberontak, karena itu hanya dugaan, katanya.
Tidak jelas berapa banyak Dana Desa yang dialokasikan untuk wilayah Papua pada 2023 dialihkan untuk pembelian senjata ilegal.
Namun Faizal Ramadhani, Kepala Satuan Operasi Perdamaian Cartenz yang mengawasi keamanan di Papua, mengatakan kepada Reuters sekitar 40 persen kasus senjata ilegal yang dia selidiki melibatkan dana dari program Dana Desa. Dia menolak untuk memberikan rincian lebih lanjut.
Juru bicara Polri dan TNI menolak berkomentar terkait hal tersebut.
Sebby Sambom, juru bicara TPNPB, sayap bersenjata dari Gerakan Papua Merdeka, membantah pemberontak menggunakan Dana Desa. Namun ia mengakui aktivitas kelompok itu sebagian secara tidak sengaja didanai oleh negara.
"Kami memiliki tanah yang kaya sehingga kami melakukannya dengan cara kami sendiri. Kami dapat menghasilkan uang melalui penambangan emas dan kayu serta banyak pembayaran pemerintah," katanya kepada Reuters. "Kami memiliki hak untuk menggunakan uang itu."
Dirancang untuk memacu pertumbuhan ekonomi, alokasi Dana Desa telah meningkat tiga kali lipat sejak 2015. Namun di Papua, beberapa orang mengatakan tidak banyak hasil yang bisa dilihat dari alokasi dana itu.
“Saya belum pernah melihat proyek yang dibiayai Dana Desa, tidak sama sekali,” kata Bernadus Kobogau, pejabat pariwisata di Intan Jaya. Sebaliknya, katanya, baku tembak mematikan yang dulu terbatas di hutan kini terjadi di tengah kota.
Para pemberontak di Nduga mengacungkan sebuah peluncur granat, beberapa senapan mesin dan 18 senapan serbu, termasuk yang diproduksi oleh pembuat amunisi senjata negara Pindad, menurut Deka Anwar, dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC).
“Masa di mana pemberontak Papua menghemat peluru berharga sudah lewat,” kata Anwar. "Sekarang mereka bisa menembak berhari-hari."
Di dataran tinggi Papua, Dana Desa diperlakukan seperti "pajak revolusioner," katanya, yang disita baik melalui intimidasi dan paksaan, atau diberikan secara sukarela oleh para pendukung kemerdekaan.
“Mereka punya banyak uang di Papua, jadi mudah untuk membeli senjata,” kata Latifah Anum Siregar, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (AIDP) dan pengacara yang meliput kasus penjualan senjata ilegal.
Masalah semakin carut marut karena para pemberontak itu sebagian besar membeli senjata dari pejabat militer dan polisi yang korup, katanya.