Sebanyak 39 pejabat Kementerian Keuangan merangkap jabatan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Ini “melanggar aturan serta asas kepatutan” menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) dan Ombudsman RI.
Menurut Fitra, dari 243 jabatan komisaris yang mereka teliti, terdapat 95 aparatur negara yang merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN maupun anak-anak perusahaannya.
Dari 95 orang itu, sebanyak 39 di antara mereka adalah pejabat Kementerian Keuangan dari eselon I dan II. Beberapa di antaranya yakni:
- Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara yang merangkap sebagai komisaris PLN
- Sekretaris Jenderal Kemenkeu Heru Pambudi merangkap sebagai komisaris Pertamina
- Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu merangkap sebagai komisaris Telkom
- Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo merangkap sebagai komisaris PT Sarana Multi Infrastruktur
- Direktur Bea dan Cukai Askolani merangkap sebagai komisaris BNI
- Direktur Jenderal Perbendaharaan Rionald Silaban merangkap sebagai komisaris Bank Mandiri
- Direktur Jenderal Perbendaharaan Astera Primanto Bhakti merangkap sebagai komisaris PT Semen Indonesia Grup
- Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Luky Alfirman merangkap sebagai komisioner Lembaga Simpan Pinjam (bukan BUMN)
- Inspektur Jenderal Kemenkeu Awan Nurmawan Nuh merangkap sebagai komisioner PT Penjamin dan Infrastruktur
- Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Nathan Kacaribu merangkap sebagai komisaris PT Pupuk Indonesia
- Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Andin Hadiyanto merangkap sebagai komisaris Bank Tabungan Negara
Jabatan komisaris PLN mendapatkan remunerasi rata-rata sebesar Rp2,1 miliar per bulan, komisaris Pertamina mendapatkan renumerasi sebesar Rp2,8 miliar, komisaris Telkom sebesar Rp1,8 miliar, komisaris PT SMI sebesar Rp2,8 miliar, komisaris BNI sebesar Rp1 miliar, dan komisaris Bank Mandiri sebesar Rp1,7 miliar per bulan.
Anggota tim Advokasi dan Kampanye Sekretariat Nasional Fitra, Gulfino Guevarrato, menilai “tidak ada urgensi” menempatkan pejabat pemerintah sebagai komisaris. Adapun fungsi pengawasan bisa dilakukan dengan pendekatan lain.
“Kami justru melihatnya bahwa pendistribusian ASN [aparatur sipil negara] ke komisaris BUMN itu sebagai bagi-bagi jabatan , bagi-bagi kue. Pengawasan itu alasan yang dibuat-buat saja, gimmick saja karena kinerja BUMN tetap compang-camping,” kata Gulfino kepada BBC News Indonesia, Rabu (8/3).
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mendesak pemerintah segera menindaklanjuti kasus-kasus rangkap jabatan yang dia sebut “maladministrasi” ini demi menjaga kepercayaan publik.
“Kami khawatir di sini, karena nilai [remunerasi]-nya jauh lebih besar, aparatur negara yang memiliki tugas penting justru lebih fokus ke BUMN-nya, bukan pada tugas mengelola keuangan negara,” jelas Gulfino.
Dia juga menyatakan bahwa situasi rangkap jabatan ini juga terjadi di “hampir seluruh kementerian dan lembaga”.
Temuan Ombudsman yang dirilis pada 2020 menunjukkan bahwa hingga tahun 2019, terdapat 397 komisaris di BUMN dan 167 komisaris di anak perusahaan BUMN yang diisi oleh pejabat rangkap jabatan.
Bolehkah ASN merangkap jabatan?
Fitra dan Ombudsman RI menyatakan bahwa aparatur negara “dilarang” merangkap jabatan, meski Gulfino mengakui bahwa pembahasan terkait aturan rangkap jabatan ini “kerap diperdebatkan”.
Menurut Fitra, rangkap jabatan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pada pasal 17a disebutkan bahwa pelaksana pelayanan publik “dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah”.
Gulfino mengakui bahwa telah timbul perdebatan soal status “pelayan publik”, bahwa pejabat setingkat eselon 1 dan 2 yang merangkap jabatan tidak masuk kategori “pelayan publik”.
Menurut dia, pelayan publik semestinya mengacu pada lembaga dan instansi yang mendapatkan sumber pendanaan dari APBN maupun APBD.
“Kementerian Keuangan itu salah satu bagian dari pelayanan publik, jadi salah satu regulasi yang patut mereka taati adalah undang-undang ini, tapi telah dilanggar karena ada yang merangkap jabatan,” kata dia.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, yang menyebut bahwa praktik rangkap jabatan ini sebagai bentuk “maladministrasi”.
Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN pun menyebutkan bahwa anggota komisaris dilarang merangkap jabatan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan atau jabatan lainnya sesuatu peraturan perundang-undangan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 telah menegaskan bahwa larangan rangkap jabatan juga berlaku pada wakil menteri, tidak hanya pada menteri. Namun saat ini, wakil menteri keuangan termasuk salah satu pejabat yang merangkap jabatan sebagai komisaris.
Ketika dikonfirmasi terkait hal ini, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan rangkap jabatan telah terjadi sejak dulu karena “Undang-Undang BUMN mengamanatkan itu”.
“Kalau yang di kami, bendahara negara adalah salah satu ultimate shareholders, pemegang saham utama karena memegang otoritas fiskal. Maka menempatkan perwakilan di sana, menugaskan para pejabatnya untuk menjadi komisaris dalam rangka pengawasan karena di situ ada tanggung jawab,” kata Yustinus ketika ditemui di Kementerian Keuangan, Jakarta pada Rabu (8/3).
“Kenapa pejabat? Karena di dalam dirinya melekat tanggung jawab dan dalam koordinasinya lebih mudah secara hierarkis karena dia punya jabatan, sehingga bisa menjalankan sesuai portofolionya, kalau ada masalah bisa menyelesaikan, mengundang rapat, bahkan mengubah kebijakan,” sambung dia.
Dia bersikukuh bahwa rangkap jabatan ini “tidak melanggar” dan “tidak dilarang undang-undang”.
“Justru dalam rangka pengawasan, kita sepakat bahwa ini justru pengawasan,” tutur dia.
Di dalam UU BUMN, pasal 6 memang menyebutkan bahwa pengawasan BUMN salah satunya dilakukan oleh komisaris.
Namun tidak ada pasal yang secara spesifik menyebutkan bahwa pejabat negara sebagai shareholder berhak menjadi komisaris dalam rangka pengawasan.
Pasal 33, seperti yang dinyatakan oleh Fitra dan Ombudsman sebelumnya, justru melarang adanya rangkap jabatan komisaris.
Meski Undang-Undang BUMN menyebut bahwa penetapan komisaris diatur lebih lanjut berdasarkan keputusan menteri, Gulfino mengatakan keputusan menteri pun seharusnya mengacu pada undang-undang, sebagai aturan yang lebih tinggi.
Rawan konflik kepentingan
Ombudsman menilai alasan pengawasan itu “tidak bisa menjadi pembenaran” atas rangkap jabatan puluhan pejabat pemerintah.
“Kalau pengawasan apa betul seperti itu? Pengawasan kan bisa dengan cara lain seperti minta laporan, audit. Jadi menurut saya, justifikasi itu tidak valid, justru membuat preseden yang buruk,” kata Yeka.
Kehadiran pejabat tinggi negara sebagai komisaris justru dia sebut “rawan konflik kepentingan”.
“Yang bisa terjadi justru kongkalikong, konflik kepentingan, entah itu manipulasi pajak, dan sebagainya.”
“Misalnya kementerian itu selaku pemegang anggaran, sedangkan BUMN sebagai penyedia barang dan jasanya, bisa saja kalau mau dijual ke pemerintah, maka pemilik anggaran harus jadi komisaris. Ini seperti nyogok terselubung,” ujar Yeka.
Apalagi, sambung dia, Kementerian Keuangan memiliki posisi yang sangat strategis sebagai pengelola keuangan negara.
Fitra dan Ombudsman juga mempertanyakan efektivitas pengawasan yang dilakukan oleh pejabat negara sebagai komisaris yang dianggap “tidak terlihat”.
Menurut catatan Fitra, pemerintah mengucurkan modal untuk BUMN sebesar Rp205 triliun sejak 2020 hingga 2023, tapi dividen yang dihasilkan BUMN untuk negara hanya sebesar Rp161,4 triliun.
Dari total 91 BUMN yang ada di Indonesia, hanya 11 yang dinilai memberi kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara.
“Di satu sisi negara cukup besar membayar remunerasi, tetapi kontribusi BUMN pada APBN rendah,” ujar Gulfino.
Kasus-kasus korupsi pun masih menjangkiti BUMN. Sejak tahun 2004-2022, terdapat 119 kasus korupsi di BUMN dengan total kerugian Rp47,9 triliun.
Belum lagi persoalan lain seperti buruknya pengelolaan BUMN sehingga menyebabkan kerugian.
“Alih-alih memperbaiki keadaan, BUMN dijadikan sapi perah, tidak hanya oleh kepentingan politik tapi juga oleh kepentingan birokrasi sekalipun ada dasar regulasinya, meski dasar regulasinya pun lemah.”
Meski kinerja BUMN tidak bisa diukur hanya melalui fungsi pengawasan komisaris, Gulfino menilai dengan dalih yang digunakan pemerintah untuk “mengawasi”, semestinya potensi-potensi masalah itu bisa diminimalisir.
Sementara itu, Yeka selaku anggota Ombudsman, menilai “sangat tidak patut” ketika pejabat pemerintah mendapat penghasilan yang begitu timpang, namun kinerja pengawasannya sulit diukur.
“Ini hanya akan membuat kepercayaan publik semakin menurun, apalagi dibumbui dengan pamer harta kekayaan. Ini masalah etika dan asas kepatutan. Perlu ketegasan dari pemerintah untuk menindaklanjutinya,” tutur Yeka.
Sebelumnya, Ombudsman pernah merekomendasikan presiden untuk menerbitkan peraturan presiden yang memperjelas batasan dan kriteria penempatan pejabat struktural atau fungsional aktif dalam Komisaris BUMN dengan pertimbangan kompetensi dan bebas konflik kepentingan.
Namun sampai saat ini, dia menilai “belum ada keseriusan dari pemerintah untuk melakukan itu”.