Keputusan atraktif Presiden Jokowi untuk mengucurkan dana pusat senilai Rp 800 miliar guna perbaikan 15 ruas jalan rusak di Provinsi Lampung menuai sorotan dan kritik sejumlah ahli. Keputusan reaktif seperti ini dikhawatirkan akan terus melahirkan ketimpangan di daerah.
"Karena itu akan biasa pada orang-orang yang, pokoknya viral, medsos (media sosial) berperan, jangan-jangan yang tidak viral yang justru membutuhkan di daerah terpencil," kata Guru Besar di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM) Wahyudi Kumorotomo, kepada Tempo, Sabtu, 6 Mei 2023.
Misalnya, sebuah daerah yang mengalami banyak persoalan seperti masalah stunting dan harus lebih diprioritaskan secara infrastruktur. Akan tetapi karena tidak viral, kata Wahyudi, daerah ini luput dari perhatian pemerintah.
Wahyudi menyebut keputusan ini sebagai model kebijakan reaktif yang bisa mengakibatkan kecemburuan bagi daerah-daerah yang mungkin lebih para dari Lampung, yang dikunjungi Jokowi. Padahal, Wahyudi yakin Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas sudah punya peta pengembangan infrastruktur.
"Kenapa enggak gunakan itu? Lalu direspons saja," kata Wahyudi. Kebijakan yang lahir pun dinilai bisa lebih objektif, bukan subjektif dengan mengandalkan berita-berita yang viral di media sosial. Maka, pemerintah pun dinilai bisa membuat cara-cara yang lebih sistematif dalam memutuskan kebijakan.
Anggaran untuk Pencitraan
Menurut Wahyudi, di tahun-tahun politik ini memang ada kecenderungan politis di pusat maupun daerah untuk memanfaatkan momentum demi meraih simati warga. Ini juga yang kadang menyebabkan prioritas pembangunan sering tidak memperhatikan kebutuhan rakyat di daerah.
"Sehingga anggaran habis untuk hal-hal yang pencitraan, mungkin kelihata bagi publik, tapi tak betul-betul sejalan dengan kebutuhan riil," ujarnya.
Wahyudi berujar situasi ini tak hanya terjadi di Lampung, tapi juga di banyak tempat lainnya. Pembangunan infrastruktur lebih banyak untuk hal-hal yang menurut politikus strategis membangun citra, tapi tidak untuk mendorong kemakmuran rakyat.
Wahyudi menilai Jokowi bermaksud baik untuk menanggani sesuatu yang vira. Tapi kalau hanya berbasis viral lalu ditanggapi, Wahyudi menilai pemerintah tak akan pernah menemukan cara yang sistematis untuk mengembangkan infrastruktur yang betul-betul sesuai peta kebutuhan di daerah.
Selain itu, kondisi ini juga dinilai menunjukkan bahwa setelah otonomi daerah, kepala daerah tidak betul-betul responsif. "Kalau sampai kemudian presiden turun tangan," ujar Wahyudi.
Anggaran untuk Pencitraan
Misalnya, sebuah daerah yang mengalami banyak persoalan seperti masalah stunting dan harus lebih diprioritaskan secara infrastruktur. Akan tetapi karena tidak viral, kata Wahyudi, daerah ini luput dari perhatian pemerintah.
Wahyudi menyebut keputusan ini sebagai model kebijakan reaktif yang bisa mengakibatkan kecemburuan bagi daerah-daerah yang mungkin lebih para dari Lampung, yang dikunjungi Jokowi. Padahal, Wahyudi yakin Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas sudah punya peta pengembangan infrastruktur.
"Kenapa enggak gunakan itu? Lalu direspons saja," kata Wahyudi. Kebijakan yang lahir pun dinilai bisa lebih objektif, bukan subjektif dengan mengandalkan berita-berita yang viral di media sosial. Maka, pemerintah pun dinilai bisa membuat cara-cara yang lebih sistematif dalam memutuskan kebijakan.
Anggaran untuk Pencitraan
Menurut Wahyudi, di tahun-tahun politik ini memang ada kecenderungan politis di pusat maupun daerah untuk memanfaatkan momentum demi meraih simati warga. Ini juga yang kadang menyebabkan prioritas pembangunan sering tidak memperhatikan kebutuhan rakyat di daerah.
"Sehingga anggaran habis untuk hal-hal yang pencitraan, mungkin kelihata bagi publik, tapi tak betul-betul sejalan dengan kebutuhan riil," ujarnya.
Wahyudi berujar situasi ini tak hanya terjadi di Lampung, tapi juga di banyak tempat lainnya. Pembangunan infrastruktur lebih banyak untuk hal-hal yang menurut politikus strategis membangun citra, tapi tidak untuk mendorong kemakmuran rakyat.
Wahyudi menilai Jokowi bermaksud baik untuk menanggani sesuatu yang vira. Tapi kalau hanya berbasis viral lalu ditanggapi, Wahyudi menilai pemerintah tak akan pernah menemukan cara yang sistematis untuk mengembangkan infrastruktur yang betul-betul sesuai peta kebutuhan di daerah.
Selain itu, kondisi ini juga dinilai menunjukkan bahwa setelah otonomi daerah, kepala daerah tidak betul-betul responsif. "Kalau sampai kemudian presiden turun tangan," ujar Wahyudi.
Anggaran untuk Pencitraan
Menurut Wahyudi, di tahun-tahun politik ini memang ada kecenderungan politis di pusat maupun daerah untuk memanfaatkan momentum demi meraih simati warga. Ini juga yang kadang menyebabkan prioritas pembangunan sering tidak memperhatikan kebutuhan rakyat di daerah.
"Sehingga anggaran habis untuk hal-hal yang pencitraan, mungkin kelihata bagi publik, tapi tak betul-betul sejalan dengan kebutuhan riil," ujarnya.
Wahyudi berujar situasi ini tak hanya terjadi di Lampung, tapi juga di banyak tempat lainnya. Pembangunan infrastruktur lebih banyak untuk hal-hal yang menurut politikus strategis membangun citra, tapi tidak untuk mendorong kemakmuran rakyat.
Wahyudi menilai Jokowi bermaksud baik untuk menanggani sesuatu yang vira. Tapi kalau hanya berbasis viral lalu ditanggapi, Wahyudi menilai pemerintah tak akan pernah menemukan cara yang sistematis untuk mengembangkan infrastruktur yang betul-betul sesuai peta kebutuhan di daerah.
Selain itu, kondisi ini juga dinilai menunjukkan bahwa setelah otonomi daerah, kepala daerah tidak betul-betul responsif. "Kalau sampai kemudian presiden turun tangan," ujar Wahyudi.
Dinilai Keputusan Instan
Sementara itu pakar kebijakan publik yang juga Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung (Unila) Dedy Hermawan sepakat bahwa pemerintah pusat terlalu reaktif dalam keputusan mengambil perbaikan jalan rusak di Lampung.
Menurut dia, kebijakan publik tak boleh diputuskan dan diproses dengan cara instan seperti itu. "Karena viral kemudian baru pemerintah ambil tindakan," kata Dedy.
Sebenarnya, kata Jokowi, aksi pemerintah mendiamkan kondisi yang selama ini carut marut soal infrastrutkur jalan juga termasuk dalam kategori kebijakan. Oleh sebab itulah, masyarakat kemudian protes. Kebetulan protes datang dari Lampung.
Menurut Dedy, persoalan infrastruktur tentu saja terjadi di mana-mana. Bahkan dari data kementerian bisa dilihat provinsi yang punya jalan rusak lebih banyak dari Lampung. Sehingga, Dedy menyayangkan bahwa pemerintah mengambil alih secara instan dan tiba-tiba. "Sebaiknya jangan terburu-buru, dikaji dulu komprehensif, baru diambil tindakan," kata dia.
Tapi di sisi lain, Dedy menilai bantuan dari pusat ini memang bisa saja memberi kepuasan ke masyarakat untuk janga pendek dan jalan keluar atas penantian bertahun-tahun masyarakat. Jokowi, kata dia, membuka realita tentang buruknya infrastruktur.
Akan tetapi, Dedy menyarankan agar kebijakan seperti ini harus tetap dikaji secara nasional. "Perlu diperiksa jangan-jangan banyak masalah yang sama di provinsi lain, jadi pusat merumuskan apa saja jalan ke depan untuk membenahi infrastruktur jalan," ujarnya.
Sementara untuk infrastruktur jalan di Lampung, Dedy pun menilai banyak penyebab yang akhirnya menyebabkan kondisinya buruk. Di antaranya yaitu rendahnya political will dari kepala daerah, serta kepala daerah dan jajarannya bekerja standar minimalis. "Tak mau bekerja maksimal," ujarnya.
Penyebab lain, kata dia, bisa saja ada pengelolaan anggaran yang sarat pemboroan. Sehingga, alasan keterbatasan anggaran dipakai sebagai penyebab jalan rusak. "Jadi variabelnya banyak, bukan dengan sekedar menjadikan anggaran sebagai alasan," ujarnya.
Dinilai Keputusan Instan
Sementara itu pakar kebijakan publik yang juga Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung (Unila) Dedy Hermawan sepakat bahwa pemerintah pusat terlalu reaktif dalam keputusan mengambil perbaikan jalan rusak di Lampung.
Menurut dia, kebijakan publik tak boleh diputuskan dan diproses dengan cara instan seperti itu. "Karena viral kemudian baru pemerintah ambil tindakan," kata Dedy.
Sebenarnya, kata Jokowi, aksi pemerintah mendiamkan kondisi yang selama ini carut marut soal infrastrutkur jalan juga termasuk dalam kategori kebijakan. Oleh sebab itulah, masyarakat kemudian protes. Kebetulan protes datang dari Lampung.
Menurut Dedy, persoalan infrastruktur tentu saja terjadi di mana-mana. Bahkan dari data kementerian bisa dilihat provinsi yang punya jalan rusak lebih banyak dari Lampung. Sehingga, Dedy menyayangkan bahwa pemerintah mengambil alih secara instan dan tiba-tiba. "Sebaiknya jangan terburu-buru, dikaji dulu komprehensif, baru diambil tindakan," kata dia.
Tapi di sisi lain, Dedy menilai bantuan dari pusat ini memang bisa saja memberi kepuasan ke masyarakat untuk janga pendek dan jalan keluar atas penantian bertahun-tahun masyarakat. Jokowi, kata dia, membuka realita tentang buruknya infrastruktur.
Akan tetapi, Dedy menyarankan agar kebijakan seperti ini harus tetap dikaji secara nasional. "Perlu diperiksa jangan-jangan banyak masalah yang sama di provinsi lain, jadi pusat merumuskan apa saja jalan ke depan untuk membenahi infrastruktur jalan," ujarnya.
Sementara untuk infrastruktur jalan di Lampung, Dedy pun menilai banyak penyebab yang akhirnya menyebabkan kondisinya buruk. Di antaranya yaitu rendahnya political will dari kepala daerah, serta kepala daerah dan jajarannya bekerja standar minimalis. "Tak mau bekerja maksimal," ujarnya.
Penyebab lain, kata dia, bisa saja ada pengelolaan anggaran yang sarat pemboroan. Sehingga, alasan keterbatasan anggaran dipakai sebagai penyebab jalan rusak. "Jadi variabelnya banyak, bukan dengan sekedar menjadikan anggaran sebagai alasan," ujarnya.
- Menurut Anda Bolehkah Presiden Main Politik Copras Capres Gunakan Fasilitas Negara?
- Studi Psikologi: Penguasa Berwatak Psikopat Narsistik
- Permainan Politik Tidak Senonoh di Republik Capedeh
tempo, zidworld