Yusril Ihza Mahendra menyatakan kesediaannya menjadi perisai hukum Presiden Jokowi usai lengser nanti. Yusril mengaku punya pengalaman 'menyelamatkan' mantan presiden Soeharto.
Menurut Yusril, mantan presiden di Indonesia rawan diserang oleh musuh politiknya usai tak menjabat.
Yusril menyebut salah satu contoh Presiden Indonesia yang diserang usai tak lagi menjabat adalah Soeharto, dan Yusril mengatakan dirinya menjadi perisai hukum untuk Soeharto kala itu.
"Saya pengalaman bagaimana menangani masalah Pak Harto, ya. Ketika beliau berhenti menjadi presiden kemudian tidak menjadi presiden lagi, ya macam-macam tuntutan di kalangan masyarakat pada waktu itu dan akhirnya tidak ada proses apapun pada beliau," kata Yusril.
Yusril menyebut salah satu contoh Presiden Indonesia yang diserang usai tak lagi menjabat adalah Soeharto, dan Yusril mengatakan dirinya menjadi perisai hukum untuk Soeharto kala itu.
"Saya pengalaman bagaimana menangani masalah Pak Harto, ya. Ketika beliau berhenti menjadi presiden kemudian tidak menjadi presiden lagi, ya macam-macam tuntutan di kalangan masyarakat pada waktu itu dan akhirnya tidak ada proses apapun pada beliau," kata Yusril.
Yusril berharap serangan tersebut tidak terjadi kepada Jokowi dan mantan presiden lainnya.
"Saya berharap itu juga terjadi pada Pak Jokowi maupun mantan-mantan presiden yang lain semua kita hormati. Dan kalau saya diminta untuk ikut menangani permasalah permasalahan beliau, saya siap melakukannya," kata Yusril.
Sebelumnya, Rocky Gerung mengusulkan sebaiknya Presiden Jokowi menggunakan kelihaian hukum Yusril Ihza Mahendra sebagai perisai hukum ketika tidak lagi menjabat sebagai presiden. Cara ini, menurut dia, dianggap efektif mengatasi fenomena politik ‘balas dendam’ seusai masa tugas seorang politikus.
“Baiknya ajak Yusril. Cuma yusril yang bisa melakukan penyelamatan,” ujar Rocky, saat menjadi pembicara di acara diskusi publik bertajuk “Harkat, Martabat dan Keselamatan Seorang Mantan Presiden, di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat, 1 September 2023.
Rocky Gerung menjelaskan secara antropologi, politik di Indonesia berbasiskan dendam. Hal tersebut diawali ketika Ken Arok menjadi Raja, hingga fenomena antar Presiden di Indonesia. Misalnya, kata dia, dijatuhkannya Presiden Gus Dur hingga inharmonisasi hubungan politik Megawati dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Politik balas dendam ini, kata Rocky Gerung, bisa saja terjadi ketika Jokowi tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI. Serangan itu bisa jadi didapatkan dari dari presiden terpilih. Termasuk, jika Anies Baswedan menjadi Presiden 2024-2019. Meski begitu, Rocky menyebut Jokowi tidak perlu terlalu khawatir ihwal hal tersebut selama memiliki perisai hukum.
“Perisainya apa? Ada perisai hukum, hingga culture tersedia. Tetapi perisai yang paling tangguh adalah batin presiden sendiri,” kata dia.
Masalahnya, ujar Rocky Gerung, perisai batin Presiden Jokowi dianggap retak. Presiden SBY menurutnya lebih stabil karena memiliki kendaraan politik Partai Demokrat yang melindunginya.
“Anda bayangkan Jokowi, tidak punya partai. Kecemasan tiba-tiba hilang kekuasaan,” kata mantan dosen di Universitas Indonesia ini.
Menurut Rocky Gerung, sosok yang bisa menjadi perisai hukum Jokowi adalah Yusril. Cara lain agarJokowi mendarat mulus di penghujung kepemimpinannya dengan mengubah Presidential Threshold menjadi nol persen.
“Seharusnya Pak Jokowi ajak Prof Yusril jadi calon presiden atau cawapres, karena Prof Yusril yang bisa menyelamatkan Pak Jokowi. Sebab gak ada orang lain yang tahu, Prof Yusril yang hanya bisa jadi tameng Presiden Jokowi dan yang paham seluk-beluk penyelamatan,” kelakar Rocky.
Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti juga sependapat soal kelihaian Yusril terkait Presiden Soeharto. Ia bercerita Yusril merupakan pembuat teks pidato Soeharto ketika meninggalkan jabatannya.
Di pidato itu, Soeharto menyebut bukan mengundurkan diri sebagai Presiden, melainkan berhenti. Secara hukum, makna mengundurkan diri dan berhenti itu memiliki arti yang berbeda. Bivitri menyebut kejelian Yusril dalam memilih kata tersebut menjaga wibawa Soeharto kala itu.
“Pidato Soeharto itu bukan mengundurkan diri, tetapi berhenti. Itu yang bikinin Pak Yusril. Kalau mundur, artinya sudah tidak sanggup. Berhenti ya berhenti, karena tidak mendapatkan lagi mandat rakyat,” kata Bivitri.