Bentrokan terjadi ketika aparat gabungan TNI dan kepolisian memaksa masuk ke kampung adat di Pulau Rempang. Banyak perempuan dan anak-anak menjadi korban tembakan gas air mata.
Sebanyak 16 kampung adat di Rempang Galang, Kepulauan Riau, terancam tergusur pembangunan proyek strategis nasional bernama Rempang Eco City.
Pada Kamis (07/09) pagi, aparat keamanan memaksa masuk ke kampung adat untuk melakukan pemasangan patok batas. Saat aparat mulai masuk terjadi lemparan batu dari arah warga yang kemudian disambut oleh gas air mata yang ditembakkan oleh aparat.
Aparat gabungan terus merengsek masuk dan menangkap beberapa warga. Mereka juga masuk ke kawasan sekolah di SMP 33 Galang dan SD 24 Galang. Gas air mata ditembakan ke arah sekolah-sekolah tersebut.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil menyebut bentrokan ini sebagai insiden terbaru di mana negara menggunakan aparat untuk mengintimidasi masyarakat demi menggolkan proyek strategis nasional.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi mengatakan perencanaan Rempang Eco-City sejak awal tidak partisipatif sekaligus abai pada suara masyarakat adat di 16 Kampung Melayu Tua di Pulau Rempang yang sudah tinggal di wilayah tersebut sejak tahun 1834.
“Jadi wajar masyarakat di lokasi tersebut menolak rencana pembangunan ini. BP Batam, Menko Ekuin, Kepala BKPM, dan Kementerian/Lembaga yang terlibat dalam proses ini merumuskan program tanpa persetujuan masyarakat,” kata Zenzi dalam keterangan tertulis.
Lebih jauh, Zenzi mengatakan tindakan BP Batam, polisi, dan TNI di Pulau Rempang telah melanggar konstitusi Republik Indonesia yang mengamanatkan negara untuk melindungi segenap warga negara Indonesia.
“Apa yang yang dilakukan tim gabungan keamanan ini bukan untuk Indonesia, bukan untuk melindungi, dan mengayomi masyarakat adat."
"Tindakan tersebut hanya sekedar membela investasi yang akan menggusur masyarakat adat,” ujarnya.
Imbas proyek strategis nasional, warga di Pulau Rempang rencananya akan direlokasi ke Dapur Tiga, Sijantung, Pulau Galang. Warga dijanjikan hunian baru serta biaya hidup selama relokasi.
Perwakilan warga mengatakan mereka tidak menolak pembangunan, namun menolak relokasi.
Komunitas adat di Rempang mengklaim telah berada di sana sejak tahun 1834. Mereka juga mengatakan telah mengajukan legalitas tanah kepada pemerintah namun tidak kunjung diberikan.
- Lingkungannya Tercemar Tambang Nikel, Derita Warga Wawonii Sulawesi Tenggara
- Faktanya Hilirisasi Nikel Cenderung Merugikan Ketimbang Menguntungkan