Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengingatkan pemerintah untuk tidak menggunakan taktik adu domba membenturkan antar warga Pulau Rempang untuk menggusur mereka.
Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM AMAN, Muhammad Arman, mengatakan “Dibenturkan antar-masyarakat, lalu diklaim masyarakat setuju padahal yang terdampak langsung tidak setuju. Itu pola lama yang dilakukan di proyek-proyek PSN lainnya, dan itu juga dilakukan di Rempang,” kata Arman kepada BBC.
Menteri Investasi Bahlil Lahadiala mengatakan bahwa masyarakat terdampak proyek investasi tahap pertama "bukan direlokasi" ke Pulau Galang, melainkan "akan digeser".
Bahlil juga menyebut bahwa rencana itu telah "diteken" oleh tokoh masyarakat yang ditemuinya ketika berkunjung ke Pulau Rempang.
Tetapi bagi Fauziah, warga dari Kampung Sembulang Pasir Merah, penolakannya terhadap relokasi atau apa yang kini diistilahkan pemerintah sebagai "pergeseran", tidak berubah.
Fauziah yang berharap bisa menyuarakan penolakannya secara langsung ketika Menteri Bahlil mengunjungi Pulau Rempang merasa kecewa.
"Kami, ibu-ibu datang untuk menyampaikan penolakan. Tapi satu menit pun saya tidak diberi kesempatan ngomong, dibilang pesawat sudah mau berangkat. Tahu-tahu mereka singgah ke sebuah hotel, di situ dibikin kesepakatan," kata Fauziah.
Fauziah merasa tak puas dengan apa yang diutarakan Bahlil dan ingin menyuarakan aspirasinya.
"Enggak bisa ngomong saya, enggak dikasih kesempatan, apa memang tidak mau mendengar suara masyarakat, enggak tahu lah," katanya.
Perasaan tak didengar itu juga dirasakan Azwir dari Kampung Tanjung Banun, salah satu dari 16 kampung tua yang terdampak penataan Pulau Rempang.
“Kemarin itu tidak ada dialog, Pak Bahlil cuma menyampaikan apa yang jadi keputusan mereka. Warga tidak diberikan [kesempatan] untuk bertanya, kemudian dialog. Jadi seolah-olah warga itu menerima langsung keputusan itu. Warga ndak mau,” kata Azwir.
Fauziah mengatakan "Kami kompak tidak mau dipindah," katanya.
Keluarganya telah tinggal turun temurun selama enam generasi di Pulau Rempang.
"Ini bukan masalah ganti untung ganti rugi, tapi ini marwah, kenangan kami di sini, makam leluhur kami, masa dibongkar kami tak tega. Hati kami hancur betul dibuat pemerintah ini," kata Fauziah.
Saat ini, setiap hari petugas dari BP Batam dan aparat masih berkeliling dari rumah ke rumah untuk mengajak warga mendaftar untuk direlokasi.
Tetapi setidaknya di kampungnya, Fauziah menuturkan warga "tak ada yang setuju direlokasi." tuturnya sambil menangis.
Fauziah mengaku stres dengan situasi di Pulau Rempang belakangan ini.
"Sedikit-sedikit kami menangis, tapi kami tidak tahu mau mengadu ke siapa lagi?"
"Presiden saja secara enggak langsung mengusir kami dari kampung kami sendiri," katanya.
Arman dari AMAN mengatakan pernyataan Bahlil soal "pergeseran kampung" adalah permainan kata-kata yang tidak bisa menghilangkan fakta bahwa masyarakat "dipaksa untuk pindah".
"Pergeseran itu sama saja. Yang terjadi itu pemindahan secara paksa. Masyarakat adat Rempang tidak diberi pilihan kecuali harus pindah," tuturnya.
"Seharusnya sebelum lokasi ditunjuk menjadi PSN, dikonsultasikan dengan warganya dulu. Setuju tidak tanahnya dilepas? Ini kan tidak, ditunjuk dulu baru ditanya ke warga, itu namanya dipaksa supaya mau."
Arman menuturkan pemerintah semestinya menghormati eksistensi mereka berdasarkan hukum adat.
Apalagi masyarakat adat Tempatan disebut telah menempati Pulau Rempang sejak 1834.

Keberadaan Orang Darat di Pulau Rempang disebutkan dalam sejumlah arsip kolonial Belanda.
Pada tanggal 4 Februari 1930, Controleur Onderafdeeling Tanjungpinang, P. Wink mengunjungi Orang Darat di Pulau Rempang. Catatannya tentang kunjungan dimuat dalam artikel berjudul Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang, 4 Februari 1930 (Laporan Sebuah Kunjungan ke Orang Darat di Pulau Rempang pada 4 Febaruari 1930).
Laporan ini ditulis di Tanjungpinang, 12 Februari 1930 dan dimuat dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkunde, Deel LXX Aflevering I,1930.
Menurut P Wink, pejabat Belanda di Tanjungpinang sudah lama mengetahui tentang keberadaan Orang Darat ini. Orang Belanda bernama JG Schot dalam tulisannya Indische Gids tahun 1882, sudah menyebut di Pulau Rempang ada suku asli yang bernama Orang Darat.
- Proyek Investasi China dan Tomy Winata di Pulau Rempang 'Urusan Presiden'
- Temuan Dugaan Pelanggaran HAM di Pulau Rempang
- Lonjakan Perampasan Wilayah Masyarakat Adat di Era Jokowi
BBC, ZID