Fakta Nelangsa Warga Adat yang Tergusur IKN, Siapa Bisa Menolong?

Fakta Nelangsa Warga Adat yang Tergusur IKN, Siapa Bisa Menolong?

Investor dapat hak tanah di IKN nyaris dua abad, tapi siapa peduli nasib anak-anak masyarakat adat yang terancam jadi gelandangan di masa depan?

 

Hanya Fraksi PKS yang menolak pengesahan revisi UU IKN yang melegalkan aturan tentang pemberian hak atas tanah 190 tahun tahun kepada investor. 

Regulasi yang sebelumnya telah ditentang berbagai kalangan ini semakin membuat khawatir warga Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, yang tergusur proyek Ibu Kota Nusantara (IKN).

Dahlia lahir dan tinggal di Sepaku. Rumah dan warung kelontong yang menjadi sumber penghasilannya berada sekitar satu kilometer dari titik nol ibu kota baru. Menolak penggusuran sejak awal,

Tapi Dahlia tak berdaya terus-menerus menentang program prioritas pemerintah tersebut.

Dahlia bersama beberapa keluarga di kampungnya meneken perjanjian ganti rugi lahan. Namun setelah berbulan-bulan berlalu, uang ganti rugi itu tidak kunjung dia terima. Fakta ini membuatnya kembali dirundung ketidakjelasan soal masa depan pascapenggusuran IKN.

Persoalan pencarian uang ganti rugi ini, kata Dahlia, hanya satu dari permasalahan yang dihadapi warga Sepaku, terutama mereka yang berasal dari komunitas adat Paser Balik.

Mendengar pengesahan regulasi hak atas tanah selama ratusan tahun, dia mengaku semakin ragu dapat mengatasi ketidakjelasan yang ditimbulkan proyek ibu kota baru.

Kehilangan tanah dan tidak memiliki bekal pendidikan memadai, Dahlia berkata dirinya dan anak-anak muda lain di kampungnya akan tersingkir dari ibu kota baru. Apalagi, kata dia, nominal ganti rugi lahan yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp150 juta tak cukup besar bagi mereka untuk membeli tanah di sekitar Sepaku.

“Ganti rugi sangat minim, mungkin hanya sekitar 10 persen dari harga tanah saat ini. Harga tanah sudah melambung tinggi, kami mungkin tidak akan mampu membeli lahan, kalaupun mampu kami tidak akan punya uang untuk membangun rumah. Apalagi yang usahanya digusur sudah tidak punya modal untuk membuka usaha baru.

“Kalau pemerintah tutup mata, tutup telinga, kami mungkin akan menjadi gelandangan atau pengemis, ke depannya. Kualitas SDM kami sangat rendah, lalu bagaimana kami bisa menyekolahkan anak-anak kalau kami tidak bekerja?” ujar Dahlia.

Kecemasan Dahlia ini, menurut Roni Septian, Kepala Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria, sangat beralasan. Dia berkata, regulasi hak atas tanah yang memberi investor konsesi hingga ratusan tahun akan melebarkan ketimpangan penguasaan lahan. Yang paling terdampak, kata dia, adalah kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan, seperti orang adat, petani, dan nelayan.

“UU IKN melegalkan monopoli tanah oleh pengusaha. UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria secara jelas meminta pemerintah mencegah praktik monopoli swasta. Kalau hak guna usaha diberikan 190 tahun dan hak guna bangunan 160 tahun, taipan menguasai tanah nyaris dua abad. Kapan orang adat, petani, nelayan bisa memiliki akses terhadap tanah? Nyaris tidak akan pernah bisa,” ujar Roni.

Menurut Roni, regulasi hak atas tanah pada UU IKN bertentangan dengan reforma agraria yang hendak dicapai lewat pengesahan UU Pokok Agraria pada tahun 1960. Aturan itu, kata dia, juga tak sesuai dengan janji reforma agraria yang dikatakan Jokowi pada dua pemilihan presiden.

“Reforma agraria tujuannya merombak struktur pemicu ketimpangan lahan. Kalau izin diberikan selama ratusan tahun, apanya yang dirombak? Yang akan terjadi justru pemiskinan masyarakat,” ujar Roni.

Dari delapan fraksi di DPR, tujuh di antaranya setuju mengesahkan revisi UU IKN. Fraksi Demokrat memberi catatan khusus, dan hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang menolak pengesahan.

Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sena, mengatakan salah satu poin yang mereka tolak adalah jaminan dua siklus perpanjangan hak atas tanah kepada pihak swasta dengan jangka waktu mencapai 190 tahun.

“Hal ini jelas semakin menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap pemilik modal, memanjakan investor, dan sebaliknya abai terhadap kepentingan rakyat yang lebih luas,” kata Mardani.

Mardani berkata, Pasal 16 A pada beleid itu mengatur bahwa hak atas tanah dalam bentuk hak guna usaha (HGU) diberikan untuk jangka waktu paling lama 95 tahun, dan dapat diperpanjang untuk 95 tahun kemudian.

Dua siklus perpanjangan juga berlaku untuk hak atas tanah dalam bentuk hak pakai.

 

BBC, ZID

ZIDWORLD © 2023 Designed By JoomShaper

Please publish modules in offcanvas position.

{{ message }}