Aisah Putri Budiarti, peneliti politik dari BRIN mengatakan apa yang disebut “efek Jokowi” malah bisa menjadi “buah simalakama” bagi pasangan Prabowo-Gibran.
“Justru menjadikan mati langkah buat Prabowo,” kata Puput – sapaan Aisah Putri Budiarti, kepada BBC News..
Menurut Puput, publik yang mungkin mendukung Jokowi melihat putusan MK yang problematik, dan berspekulasi tentang dinasti politik setelah Gibran dijadikan bakal cawapres.
Kesadaran publik yang semakin besar tentang ini justru akan merugikan Prabowo-Gibran.
“Kalau publik kemudian sadar dan berbalik tidak memilih, maka efek Jokowi justru negatif buat Prabowo,” katanya.
Selain itu, persoalan ini kemungkinan dilihat kandidat lain sebagai “kelemahan” bagi Prabowo-Gibran, dan bisa dijadikan bahan kampanye.
“Kandidat lain memanfaatkan kelemahan itu, dengan membawa isu penting bagi parpol untuk membangun kaderisasi politik yang sehat," ujarnya.
Kedua, penting untuk seorang presiden dan wakil presiden untuk punya kapasitas politik,” tambah Puput.
Di sisi lain, efek Jokowi dapat berdampak positif jika tim Prabowo-Gibran mampu menguatkan loyalitas pendukung Jokowi, termasuk mengemas jawaban atas tuduhan rekayasa hukum, dinasti politik dan Gibran sebagai “politikus kutu loncat” – Gibran sebagai kader PDIP mendapat jalur dari Partai Golkar untuk dicalonkan sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo.
“Ini bergantung strategi politik,” katanya.
Polemik putusan MK dan Gibran berpengaruh ke pemilih muda
Prabowo sebenarnya akan lebih untung dengan pendamping selain Gibran, kata Devi Darmawan, peneliti politik BRIN lainnya.
Hal ini berdasarkan jajak pendapat sejumlah lembaga survei menunjukkan suara Prabowo lebih besar ketika dipasangkan dengan Erik Thohir dibandingkan Gibran.
Jajak pendapat ini dilakukan Indikator Politik Indonesia, dan LSI.
“Itu jadi lebih untung lagi,” kata Devi.
Keputusan MK yang menuai polemik dan kemunculan Gibran sebagai bakal cawapres akan menjadi pertimbangan bagi pemilih muda.
Menurut Devi, pemilih muda memiliki karakter rasional, apolitis, dan melihat dinamika politik sebagai sesuatu yang lentur.
Pemilih muda rentang usia 22-30 akan mendominasi pemilih secara nasional dengan porsi 56% atau sekitar 114 juta pada pemilu 2024 – juga punya pandangan ideal mengenai sosok pemimpin sampai sentimen negatif terhadap dinasti politik.
“Melihat Gibran menjadi cawapres, itu tentu jadi pertimbangan mereka sebagai pemilih yang lebih rasional ketimbang pemilih di Generasi X - yang merupakan pemilih loyal,” kata Devi.
Semestinya Gibran sebagai representasi milenial bisa membawa nilai plus terhadap Prabowo apa yang disebut Devi sebagai kombinasi “antar generasi tua dan muda”.
Akan tetapi persoalannya, banyak yang mencurigai proses cepat mendapat tiket bakal cawapres tak lepas dari pengaruh Jokowi di belakangnya.
“Ini jadi momok negatif terhadap Gibran sendiri sebagai cawapres, bisa jadi blunder bagi poros Prabowo-Gibran,” katanya.