Tolong, Lebih 600 Ribu Anak Papua Tidak Sekolah

Tolong, Lebih 600 Ribu Anak Papua Tidak Sekolah

Data menyebut, di Papua ada lebih 620 ribu anak di jenjang SD, SMP dan SMA/SMK tidak bersekolah atau tidak menyelesaikan pendidikannya. Penyebabnya kompleks, dan dibutuhkan kecermatan mencari jalan keluar, karena berbagai keterbatasan.


Untuk mendidik anak Papua, guru memegang peran utama. Karena itulah, pakar pendidikan Universitas Papua, Dr Agus Irianto Sumule menyebut, ketersediaan guru sebagai pondasi persoalan.

“Problem mendasarnya itu kalau saya melihatnya, adalah kekurangan tenaga guru. Kita menyelesaikan masalah pendidikan, itu harus dimulai dari ketersediaan tenaga guru, baik tenaga guru untuk tingkat PAUD, SD, SMP, SMA dan SMK,” kata Agus kepada Voice of America (26/6).

Agus mengirimkan data yang merinci, ada lebih 244 ribu anak jenjang SD tidak sekolah, 224 ribu lebih di jenjang SMP dan 151 ribu lebih di jenjang SMA/SMK. Angka totalnya adalah 620.724, dan itu tersebar di setiap kabupaten di tanah Papua. Kondisi ini melanggar komitmen Undang-Undang Otonomi Khusus Papua sendiri yang menyebut bahwa penduduk Papua, khususnya Orang Asli Papua, harus memiliki pendidikan minimum sekolah menengah, yaitu SMA/SMK, Paket C atau sederajat.

“Kita masih sangat jauh dari itu,” ujar Agus.

Data yang disusun Agus mencatat, seluruh Papua mengalami kekurangan lebih dari 20 ribu guru. Sekitar separuhnya, merupakan kekurangan guru di tingkat sekolah dasar. Jumlah itu belum termasuk kebutuhan guru, bagi lebih 600 ribu siswa usia sekolah yang tidak bersekolah atau tidak menyelesaikan pendidikannya.

Problem ini dijawab, salah satunya dengan merekrut guru dengan skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Sayangnya, provinsi-provinsi di Papua relatif lamban dalam menutupi kebutuhan ini.

Berbakti pada kampung halaman. Agustinus Kadepa, koordinator Gerakan Papua Mengajar (GPM) sedang mengajar anak-anak. (Dok Agustinus Kadepa)

Dalam keterangan resminya, Pelaksana Harian Sekretaris Daerah Papua, Derek Hegemur memastikan proses itu akan selesai bulan Juni ini.

“Karena ini menyangkut gaji, sehingga memang harus ada aturan dan petunjuk teknis yang harus diikuti,” ujarnya.

Faktor Guru Menentukan

Agus mengatakan, daerah perlu ditantang untuk menerapkan strategi penyiapan guru sebagai prioritas. Ia memberi contoh, provinsi baru yaitu Papua Pegunungan, memiliki total anak yang tidak sekolah sebanyak 95 ribu lebih. Melihat kondisi geografis yang menantang, provinsi ini seharusnya mampu menghasilkan guru sendiri, melalui perguruan tinggi yang memiliki Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. “Bahwa memang bahwa tempat itu sulit dijangkau, tetapi harus ada lembaga pendidikan guru di situ,” tambahnya.

Agus Sumule menceritakan pengalaman pribadinya, terkait ketersediaan guru. Ketika datang ke Papua pada 1963, orang tuanya adalah guru. Ketika itu, penyediaan guru-guru dipercepat melalui program Sekolah Guru Bawah (SGB). Konsepnya adalah mereka yang lulus pendidikan dasar, dididik menjadi guru dalam jangka empat tahun. Di umur 16-17 tahun, ketika itu, seseorang bisa menjadi guru di Papua. Model penyelesaian masalah semacam bisa bisa diadopsi kembali, disesuaikan dengan tantangan yang ada saat ini.

Guru di Papua, kata Agus, membutuhkan tiga pondasi yaitu sikap keagamaan yang kuat, karakter yang baik dan kompetensi cukup.

Putri dan anak-anak Kosarek - Prihatin dengan pendidikan anak-anak pedalaman yang terbelakang. (Doku Putri Kitnas Inesia)

Problem guru ini diakui oleh Sriyati Bayani, dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, kabupaten Jayapura, Papua. Banyak pencari kerja atau calon ASN, memanfaatkan posisi lowongan guru sebagai jalan masuk ke birokrasi.

“Mereka hanya menjadikan guru itu sebagai batu loncatan, mereka bukan datang mengabdi dengan hati. Mereka hanya menjadikan guru ini sebagai batu loncatan untuk ditempatkan sebagai ASN di tempat yang lain,” paparnya.

Sektor pendidikan dan kesehatan adalah dua sektor prioritas di Papua. Keduanya memberi peluang bagi calon ASN untuk masuk. Sayangnya, seperti kaya Sri Bayani tadi, kondisi ini merugikan sektor pendidikan karena guru yang mendaftar tidak bertujuan untuk berbakti.

Sri Bayani yakin, guru di Papua sudah menerima berbagai tunjangan yang seharusnya cukup mampu mendorong mereka untuk mengabdi dengan baik. Sekolah juga diberikan bantuan dana operasional. Karena itulah, dia melihat faktor yang mampu menjadikan guru bekerja di Papua, khususnya di daerah sulit, adalah faktor hati.

Persoalan Papua Kompleks

Sri Bayani menyebut, sektor pendidikan Papua juga dikepung berbagai persoalan. Dari sisi geografis saja, banyak anak-anak Papua yang berjarak sangat jauh dari sekolah dan harus berjalan kaki untuk belajar. Konsep asrama sedang diwacanakan, untuk menampung anak-anak itu agar tidak harus pergi-pulang dari kampungnya. Tantangan lain adalah bagaimana menyadarkan orang tua di Papua, memandang pendidikan sebagai kebutuhan penting bagi anak-anak mereka.

Selain itu, pemerintah daerah juga harus menyediakan lebih banyak beasiswa dengan distribusi yang jelas dan berimbang.

Keterbatasan tidak menjadi masalah bagi anak-anak Papua belajar bersama relawan Gerakan Papua Mengajar. (Foto: Courtesy/Agus Kadepa GPM)

“Kenapa sering ada beasiswa mandek di tengah jalan? Karena ganti pejabat, ganti pula yang mengelola beasiswa. Ketika pejabatnya ganti, di situlah terjadi kecurangan, manipulasi keuangan dan lainnya,” ujar Sri Bayani yang sebelumnya berkiprah di Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah, kabupaten Jayapura.

Papua juga membutuhkan lebih banyak kehadiran lembaga pendidikan, yang memberi inspirasi bagi generasi mudanya untuk menempuh sekolah. Fakta bahwa sekolah swasta di Papua bisa dikelola lebih baik membuktikan, bahwa kuncinya ada pada aktor sektor pendidikan itu sendiri.

Anggaran Pendidikan Cukup

Dr Agus Irianto Sumule mengaku, membutuhkan perhitungan serius jika ingin memastikan, apakah anggaran pendidikan di Papua sudah mencukupi. Namun, dia meyakini, bagi daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam besar, seharusnya dana tidak menjadi persoalan.

Dia memberi contoh, di kabupaten Teluk Bintuni, jumlah anak yang tidak bersekolah sekitar 5.598 anak. “Mestinya tidak perlu ada angka ini, karena dia punya anggaran untuk pendidikan saja, yang berasal dari BPH Migas, bukan berasal dari Dana Otsus, untuk tahun 2023 ini sekitar Rp400 miliar. Jadi, seharusnya dia mampu,” kata Agus.

Jika anggaran tersedia, maka tantangannya adalah pada pemanfaatan. Sejauh ini, anggaran itu mungkin digunakan untuk beasiswa bagi mahasiswa baik di dalam maupun di luar negeri atau mengirim anak-anak Papua ke pulau Jawa untuk bersekolah.

Anak-anak Pegunungan Bintang, Papua, belajar bersama Fransiskus Kasipmabin. (Foto: VOA/Nurhadi)

“Jadi, kita masih perlu bekerja keras lagi untuk menentukan prioritas. Kita kirim 50 anak Papua ke pulau Jawa untuk dididik di sekolah-sekolah yang katanya unggulan, atau kita pikirkan ribuan anak yang tidak sekolah ini,” tegas Agus.
 
 

voa, zid

ZIDWORLD © 2024 Designed By JoomShaper

Please publish modules in offcanvas position.

{{ message }}