Lain halnya dengan Charles Darwin, yang berpikir bahwa produksi air mata (meskipun bukan menangis) sekadar efek samping tak berguna dari cara kerja otot-otot di sekitar mata. Menurut dia, otot-otot tersebut perlu berkontraksi dari waktu ke waktu sehingga tidak kepenuhan darah; keluarnya air mata hanyalah konsekuensi dari proses fisiologi itu. (Namun Darwin mengakui bahwa tangisan dapat membantu bayi menarik perhatian orang tuanya).
Mungkin meratap adalah cara untuk meminta dukungan dan pertolongan dari kawan saat kita sangat membutuhkannya.
Sekarang kita tahu bahwa menangis - setidaknya, tangisan yang dilakukan orang dewasa - merupakan respon psikologis yang kompleks terhadap suatu stimulus emosional. Ciri yang paling menonjol tentu saja menetesnya air mata, tapi menangis juga melibatkan perubahan ekspresi wajah dan pola nafas. Istilah "tersedu-sedu", misalnya, mengacu pada tarikan dan hembusan nafas cepat yang sering kali menyertai tangisan.
Dari sudut pandang keilmuan, menangis punya mekanisme berbeda dari keluarnya air mata sebagai respon terhadap iritasi zat kimia, seperti saat Anda tak sengaja mengucek mata setelah makan makanan pedas. Bahkan air matanya pun berbeda.
[Video terpopuler] “Sejak kecil, kita diajarkan tak boleh menangis. Maka, saat dewasa kita terbiasa menutup diri dari emosi kita sendiri,” kata Hidefumi Yoshida, 'guru menangis'.
— BBC News Indonesia (@BBCIndonesia) October 11, 2020
Menurutnya, tersedu-sedu bisa melepaskan stres serta “membuat kita lebih mengenal diri sendiri.” pic.twitter.com/CbtFVNhL2u
Pada 1981, psikiater Minnesota William H. Frey II menemukan bahwa air mata yang disebabkan film sedih mengandung lebih banyak protein dari yang keluar sebagai respon terhadap irisan bawang bombay.
Sebagaimana dialami siapapun yang pernah menonton aksi komedi yang sangat lucu atau mendengarkan mempelai pria membacakan janji perkawinan kepada mempelai wanita, air mata emosional tidak terbatas pada rasa melankoli. Namun meskipun kita semua akrab dengan perasaan yang diasosiasikan dengan menangis, baik itu gembira maupun sedih, tak banyak yang diketahui perihal alasan kita melakukannya sebagai orang dewasa - tetapi ada banyak teori.
Satu teori mengatakan tangisan orang dewasa sebenarnya tidak begitu berbeda dari tangisan bayi, setidaknya dalam sifat sosialnya. Dengan kata lain, mungkin meratap ialah cara mencari perhatian, cara untuk meminta dukungan dan pertolongan dari kawan saat kita sangat membutuhkannya. Tangis merupakan cara mengomunikasikan kondisi emosional dalam diri pada saat kita mungkin tak bisa sepenuhnya mengartikulasikannya.
Meskipun teori ini menjelaskan beberapa bentuk tangisan, banyak ilmuwan menemukan bahwa orang dewasa sering menangis ketika mereka sendirian. Kemungkinan lain ialah tangisan dapat berfungsi sebagai "penilaian sekunder", yang membantu seseorang menyadari seberapa terganggunya mereka, atau cara untuk membantu mereka memahami perasaannya sendiri - ini ide yang provokatif, dengan beberapa bukti yang mendukungnya, dalam beberapa kasus.
Dan kemudian ada gagasan tentang katarsis: tangisan memberi kelegaan terhadap situasi yang membuat stres. Gagasan tersebut tak hanya konsisten dengan kata-kata Shakespeare, tapi juga dengan penyair Romawi Ovid, yang menulis, "Lega rasanya setelah menangis; kesedihan terpuaskan dan hanyut oleh air mata." Filsuf Yunani Aristoteles juga pernah menulis bahwa tangis "membersihkan pikiran".
Pada studi tahun 1986 terhadap majalah dan koran AS, seorang psikolog menemukan bahwa 94% artikel tentang menangis mengatakan bahwa tindakan tersebut membantu meringankan tekanan psikologis.
Dan memang demikian, studi pada tahun 2008 terhadap hampir 4.300 orang dewasa dari 30 negara menemukan bahwa kebanyakan dari mereka melaporkan perbaikan dalam kesejahteraan fisik dan mental setelah menangis, tapi tidak semuanya. Beberapa melaporkan tidak ada perubahan, dan beberapa bahkan mengatakan mereka merasa lebih buruk setelah menangis.
Gagasan tentang "tangisan yang baik" bukan tak ada gunanya, namun tampaknya aktivitas menangis perlu dukungan sosial yang tepat supaya bisa efektif.
Perbedaannya tampaknya terletak pada konteks sosial: jika seseorang merasa malu karena menangis di depan umum, misalnya, mereka mungkin merasa masalahnya kurang terselesaikan daripada jika mereka menangis sendirian atau dengan seorang teman dekat.
Jadi gagasan tentang "tangisan yang baik" bukan tak ada gunanya, tetapi tampaknya ia memerlukan dukungan sosial yang tepat supaya bisa efektif. Yang berarti, pada pokoknya, bahwa orang dewasa mungkin menangis dengan alasan yang sama seperti bayi: untuk mencari bantuan dari teman-teman dan keluarga mereka.
- Apakah Dikau Bermental Kuat? Orang Bermental Kuat Tidak Melakukan 13 Hal Ini
- Sebuah Negara di Eropa yang Warganya Mencintai Kesedihan
Jason G Goldman BBC Africa, Kampala
Anda bisa membaca versi bahasa Inggris artikel ini dengan judul Is having a cry good for our health?di BBC Future.